Pimpinan DPR: Presiden Jokowi Bodohi Rakyat dengan Klaimnya

1400
×

Pimpinan DPR: Presiden Jokowi Bodohi Rakyat dengan Klaimnya

Sebarkan artikel ini

Jakarta, Faktapers.id – Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) tak punya road map. Jargon “Revolusi Mental” yang berapi-api dilontarkan Jokowi saat kampanye 2014 lalu telah lenyap dengan klaim pembangunan infrastruktur fisik.

Demikian penegasan Wakil Ketua DPR RI, Fadli Zon. “Banyak klaim keberhasilan pembangunan pemerintah tak sesuai kenyataan atau bertolak belakang dengan rencana awal yang dijanjikan. Pemerintah tak punya road map yang jelas, karena orientasinya menjadikan pembangunan hanya etalase politik,” ujar Fadli dalam pernyataan tertulisnya, Rabu (2/1).

Padahal, sambung Pimpinan DPR Bidang Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Korpolhukam) ini, pembangunan adalah kewajiban bagi pemerintahan manapun, bukan prestasi. Prestasi itu kalau blue print yang direncanakan dapat direalisasikan dan akhirnya menstimulus ekonomi.

“Semula, pemerintahan Presiden Joko Widodo berapi-api menggulirkan jargon Revolusi Mental, namun bahkan sebelum genap empat tahun jargon itu telah lenyap diganti klaim pembangunan infrastruktur fisik,” urai Fadli. Masalahnya, sebutnya lagi, klaim pembangunan infrastruktur juga sering kali mengambil hasil-hasil pembangunan dari pemerintahan terdahulu atau hasil pemerintah provinsi dan kabupaten.

Fadli pun mengungkapkan, pembangunan Bandara Kertajati di Majalengka sebenarnya keberhasilan pemerintah Provinsi Jawa Barat di bawah Gubernur Ahmad Heryawan, tapi kini diklaim seolah hasil pemerintah pusat sekarang. Padahal pembangunan itu sudah dimulai pada periode lalu dengan menggunakan sebagian besar dana APBD.

“Begitu juga dengan jargon pembangunan Poros Maritim. Pemerintah pernah berbusa-busa memperkenalkan konsep tol laut, tapi yang dibangun justru tol berbayar di darat. Itupun, banyak dibiayai oleh utang yang kini membebani keuangan BUMN,” beber Wakil Ketua DPP Gerindra itu.

Fadli menilai, adanya kesenjangan antara konsep atau janji dengan realisasi menunjukkan bahwa sejak awal pemerintahan Jokowi memang tak memiliki strategi pembangunan yang jelas. “Ini membuat sebagian besar proyek pembangunan menjadi tak realistis, karena memang tak berangkat dari proyeksi kebutuhan dan perencanaan matang. Selain itu, pembangunan gagal menstimulus pertumbuhan ekonomi yang dijanjikan 7-8 persen,” ujarnya.

Fadli berpendapat, pembangunan mestinya juga dilakukan berdasarkan kebutuhan dan kemampuan, bukan untuk kepentingan etalase politik atau pencitraan semu. “Mahal sekali harga yang harus dibayar rakyat Indonesia nantinya. Dalam empat tahun terakhir, misalnya, anggaran publik dan juga utang sektor publik secara jor-joran digunakan untuk pembangunan infrastruktur, dengan mengabaikan kebutuhan lainnya,” cetusnya.

“Jika hasil pembangunan itu utilisasinya minim, bukankah itu merugikan dana publik yang telah dihabiskan?” Sambung Fadli.

Tak hanya itu ia juga mengaku melihat klaim-klaim keberhasilan pembangunan ekonomi pemerintah cenderung membodohi publik. “Contoh klaim pembangunan jalan tol. Jalan tol itu sebagian infrastruktur swasta, bukan infrastruktur publik, bagaimana ceritanya pembangunan jalan tol diklaim sebagai prestasi pembangunan? Itu tak ada bedanya jika ada Bupati mengklaim pembangunan mal di kotanya sebagai prestasi pemerintah daerah. Klaim yang sangat menggelikan,” tandas Fadli.

Dengan kata lain, lanjut dia, tol berbayar adalah bentuk berbisnis dengan rakyat bukan pelayanan. Infrastruktur publik itu adalah jalan n1asional, jalan provinsi, jalan kabupaten, dan sejenisnya, bukan jalan tol, karena masyarakat harus membayar jika ingin menggunakan jalan tol. “Masalahnya, alih-alih memperbaiki jalan lintas Sumatera, misalnya, atau jalan-jalan arterinya yang rusak, Pemerintah malah berniat membangun jalan tol lintas Sumatera. Lalu di mana sifat ‘publik’-nya?” Papar Fadli.

Ia menganggap, klaim keberhasilan pembangunan jalan tol itu bukan hanya membodohi, namun juga tak mendidik masyarakat mengenai paradigma kebijakan transportasi yang benar. Jalan tol adalah obsesi pembangunan yang salah, karena jalan tol yang kini ada sebenarnya hanyalah infrastruktur bagi kendaraan pribadi, hanya memberikan insentif bagi pengguna kendaraan pribadi atau operator transportasi yang bersifat privat. Padahal yang mestinya dibangun pemerintah adalah sarana transportasi publik berbasis rel, bukannya jalan tol.

“Lebih aneh lagi, yang semula dijanjikan pemerintah kan sebenarnya adalah pembangunan tol laut, tapi kemudian yang dibangun tol darat. Kalau kita membuka Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, ada beberapa rencana yang dituangkan dalam RPJMN tersebut. Pertama, mengembangkan dan membangun 24 pelabuhan hingga tahun 2019. Targetnya, rata-rata per tahun harus dibangun sekitar lima pelabuhan,” jelas Fadli.

Kedua, lanjut dia, mengembangkan 210 pelabuhan penyeberangan. Ketiga, pembangunan atau penyelesaian 48 pelabuhan baru yang harus selesai pada 2016 dan total 270 pelabuhan pada 2019. Tapi, bagaimana realisasinya?

“Kalau dari sisi klaim pemerintah, hingga tahun ini mereka telah mengklaim membangun 27 pelabuhan baru. Saya masih cek detailnya. Tapi, yang harus kita perhatikan adalah utilisasi trayek tol laut. Menurut data Kementerian Perhubungan (Kemenhub), pada 2017 realisasi muatan tol laut hanya mencapai 212.865 ton, atau baru 41,2 persen dari target 517.200 ton. Sementara itu, realisasi muatan baliknya jauh lebih kecil, karena baru mencapai 20.274 ton,” terang Fadli.

Masih menurut dia, rata-rata okupansi kapal di trayek tol laut juga masih kecil, baru sekitar 60 persen. Sementara untuk muatan balik okupansinya malah hanya berkisar di angka 6 persen saja. Jadi, masih sangat rendah sekali. Klaim keberpihakan terhadap pembangunan maritim juga tak sejalan dengan perbaikan nasib para nelayan. Dalam empat tahun pemerintahan Presiden Jokowi, misalnya, sebagian nelayan dan usaha penangkapan ikan justru harus berhenti beroperasi, karena persoalan perizinan.

“Mestinya ada perlindungan terhadap para nelayan tradisional. Secara keseluruhan, setahun terakhir pemerintahan memang banyak mengklaim keberhasilan, namun klaim-klaimnya sebenarnya banyak yang bermasalah. Misalnya saja klaim penurunan angka pengangguran yang kini diklaim sebagai terkecil sepanjang sejarah. Saya cek, dari sisi persentase memang jumlah persentasenya kecil, yaitu hanya 5,34 persen,” pungkas Fadli.

“Namun saat kita periksa datanya, klaim tadi cenderung membodohi kita. Sebagai catatan, angka pengangguran bulan Agustus 2014, yaitu dua bulan sebelum Presiden Joko Widodo dilantik, angka pengangguran mencapai 7.244.905 orang, atau sebesar 5,94 persen. Pada Oktober 2018, jumlahnya turun menjadi 7 juta orang, atau persentasenya kini menjadi 5,34 persen,” sebutnya lagi.

Artinya, sambung Fadli selama empat tahun pemerintahan Presiden Jokowi jumlah pengangguran hanya berkurang sebesar 240 ribuan orang saja. Ini sebenarnya adalah bentuk kinerja buruk, sebab laju penurunan angka pengangguran di era Jokowi sebenarnya justru melambat. Belum lagi kalau kita bicara ukuran pengangguran itu apa. Orang yang bekerja sejam dalam seminggu saja sudah dihitung bukan pengangguran.

“Itu kan kriteria aneh. Saya melihat pemerintahan sekarang ini terlalu banyak klaim. Tapi klaim-klaim itu sebenarnya menyembunyikan banyak sekali persoalan. Yang jelas, masyarakat pada umumnya merasakan hidup semakin sulit, mencari pekerjaan sulit, harga-harga kebutuhan pokok melonjak dan daya beli melemah,” demikian Fadli. oss

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *