Jakarta, faktapers.id – Mantan anggota Polres Raja Ampat, Labora Sitorus, yang telah divonis oleh Mahkamah Agung dengan hukuman penjara selama 15 tahun dan denda Rp 5 miliar, melaporkan Ketua Majelis Hakim Tingkat Kasasi Mahkamah Agung RI, DR Artidjo Alkostar SH LLM ke Bareskrim Polri.
Laporan itu, terkait dugaan tindak pidana tentang dugaan pemalsuan surat yang dilakukan oleh terlapor dan kawan-kawan yang bertindak sebagai Ketua Majelis Hakim Tingkat Kasasi Mahkamah Agung RI.
Menurut Labora, kasus yang dialaminya terkesan rekayasa dan dipaksakan, mulai dari pelaporan, penyelidikan, penyidikan, penahanan sampai dengan putusan MA.
Berdasarkan itupula, laporan yang dibuat oleh Labora melalui Kepala Bareskrim Polri terkait dugaan terjadinya tindak pidana pemalsuan surat vide pasal 263 ayat (1) dan ayat (2) KUHP dalam Petikan Putusan dan Salinan Putusan Tingkat Kasasi Mahkamah Agung RI atas nama terpidana Labora Sitoras nomor 1081 K/PID.SUS/2014.
Menurut Labora, keanehan proses hukum yang dialaminya antara lain, tidak adanya Surat Perintah Penahanan (SP2) atas dirinya dalam berkas yang ada di Lapas Cipinang.
“Surat SP2 itu baru diketahui setelah istri saya menanyakan secara tertulis melalui surat kepada Kepala Lapas Cipinang. Padahal yang sebenarnya SP2 merupakan syarat mutlak yang harus ada untuk menahan seseorang sesuai dengan Peraturan Pemerintah No 58 Tahun 1999,” ujarnya.
Keanehan lainnya, kata Labora, mengapa hanya dirinya menjadi “sasaran”, tanpa ada orang lain yang turut terlibat.
“Meskinya, kan harus ada tersangka lainnya,” tandasnya.
Upaya yang dilakukan korban selama ini untuk menuntut kebenaran dan keadilan adalah dengan cara melapor kepada Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM).
“Komnas HAM merespon laporan saya dan selanjutnya dilakukan Eksaminasi Proses dan Putusan Hukum. Hasil/kesimpulan dari Komnas HAM yang kemudian bisa digunakan sebagai uraian fakta. Hasil Eksaminasi Komnas HAM menunjukkan adanya penyalahgunaan wewenang,” ujarnya.
Labora menjelaskan, bahwa Kommas HAM melalui Keputusan Ketua Komnas HAM No 041/KOMNAS HAM/XI/2015 tanggal 23 November 2015 telah membentuk Tim Eksaminasi yang bertujuan memberikan kekuatan rekomendasi Komnas HAM dalam upaya pemenuhan Hak Asasi Manusia dan penegakan hukum terhadap setiap warga negara.
Labora juga menjelaskan, bahwa Tim Eksaminasi ini telah mengeluarkan Laporan Hasil Eksaminasi dan Putusan Hukum Labora Sitorus pada bulan Desember 2015 yang diantaranya berisi sebagai berikut: Telah terjadi kesalahan fatal dan serius dalam menetapkan subyek hukum yang dapat diminta pertangungjawaban hukum pidana (Error in Persona), yang mengakibatkan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, persidangan sampai dengan putusan pengadilan serta pelaksanaan putusan (eksekusi) yang direkayasa dan dipaksakan (error in procedure) yang pada akhirnya menunjukan adanya penyalahgunaan wewenang (a buse of power) dan pengabaian terhadap perlindungan hak asasi manusia.
Labora menambahkan, Tim Eksaminasi juga berkesimpulan telah terjadi tindak pidana oleh polisi, jaksa dan hakim yang dalam kriminologi disebut sebagai bentuk kejahatan yang dilakukan oleh negara (state crime) yang melanggar hak asasi dirinya.
Tidak sampai di situ, Tim Eksaminasi juga menyimpulkan bahwa amar putusan MA No. 1081K/PID.SUS sekedar mencocokkan dengan ketentuan pasal 197 KUHAP, maka putusan tersebut dapat dinyatakan batal demi hukum.
Sehubungan dengan temuan fakta Komnas HAM tersebut diatas kemudian dikaitkan dengan rumusan unsur pasal 263 ayat (1) dan ayat (2) KUHP, menurut hemat pelapor setelah dicermati putusan Mahkamah Agung dimaksud banyak ditemukan pasal-pasal KUHAP yang seharusnya dipedomani oleh Hakim Agung temyata banyak pasal-pasal KUHAP yang disimpangi.
Pasal-pasal didalam KUHAP diabaikan oleh Majelis Hakim yang diketuai oleh saudara DR Artidjo Alkostar, SH, LLM antara lain pasal 200 KUHAP yang berbunyi: Surat Putusan ditandatangani oleh Hakim dan Panitera seketika setelah putusan itu diucapkan.
Dalam pertimbangan hukumnya, Artidjo Alkostar telah bertindak melampaui kewenangannya sebagai hakim Judex Yuris karena dalam putusan aquo disatu sisi setuju dengan pendapat hakim tingkat banding yang dimintakan kasasi, seyogianya format putusan adalah menguatkan putusan yang dimintakan kasasi tersebut sekedar melakukan perbaikan tentang tingginya pidana dan besarnya denda, tetapi dalam perkara aquo atau disisi lain justru membatalkan dengan mengadili sendiri tanpa uraian atau pendapat hukum yang logis, lagipula sebagai wujud pertanggungjawaban dalam membuat putusan akhir baik dalam petikan putusan dan salinan putusan, tidak ada yang membubuhkan tandatangan, dengan demikian pelapor berpendapat bahwa putusan aquo ilegal karena tidak terdokumentasi di Mahkamah Agung RI, dengan kata lain putusan tersebut adalah PALSU.
Selain itu dilihat dari segi formal surat penunjukan Majelis berupa surat perintah penunjukan Hakim Agung dari Ketua Mahkamah Agung tidak terlampir dalam putusan. Dengan demikian unsur pasal 263 ayat (1) KUHP telah terpenuhi antara lain: DR. Artidjo Alkostar,SH, LLM sebagai pelaku utama/intelektual dader, saudara Prof. DR. Surya Jaya, SH, M.Hum dan saudari Sri Murwahyuni, SH, MH, yang dibantu oleh saudari Mariana Sondang Panjaitan, SH, MH, Panitera pengganti sebagai pelaku turut serta Vide pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Sedangkan terlapor saudara Roky Panjaitan, SH yang menggunakan Petikan Putusan aquo dengan menandatangani surat pengantar dalam kapasitas sebagai Panitera Muda Pidana Khusus untuk diteruskan ke Pengadilan Negeri Sorong, kemudian dijadikan dasar untuk mengeksekusi Labora Sitorus secara hukum sudah memenuhi kualifikasi pasal menggunakan SURAT PALSU vide pasal 263 ayat (2) KUHP.
“Atas dasar hasil eksaminasi Komnas HAM tersebut, saya meyakini saya memang telah menjadi korban atas perbuatan yang sebenarnya tidak dilakukannya dan telah dihukum secara semena-mena. Untuk itulah saya maupun keluarga akan terus melakukan perlawanan,” ucap Labora. fp01