Kontestasi Intelektual versus Pecundang

×

Kontestasi Intelektual versus Pecundang

Sebarkan artikel ini

Penulis: Saurip Kadi Mantan Asisten Teritorial KSAD
Jakarta, faktapers.id – BERKAT pilihan kata yang sengak atau nyelekit dan kasar seperti ‘Presiden enggak punya otak’ dan ‘rezim pembuat panik’, Rocky Gerung mendadak ngetop. Sebelumnya, intelektual lainnya menyebut Presiden ‘plonga-plongo’. Belakangan menyusul Prof Arbi Sanit juga memberi stempel bahwa kapasitas Presiden Jokowi di bawah standar, presiden kebetulan, dan Pemerintahan Jokowi adalah pemerintahan terlemah di dalam sejarah Indonesia.

Masih banyak lagi sebutan nyinyir, mengolok-olok, mencela, ujaran kebencian, dan bahkan fitnah terhadap Presiden Jokowi. Termasuk stigma PKI yang disampaikan sejumlah politikus yang berpendidikan tinggi.

Berita yang sejenis dengan kadar yang lebih rendah, juga sempat terlontar dari orang-orang dekat Presiden Jokowi, yang menganggap pemilu layaknya perang. Tidak kurang dari Prof Yusril Mahendra seperti yang dilansir pada https://bit.ly//2EkGdXk, yang intinya penegasan Habis Rizieq bahwa Prabowo Islamnya enggak jelas. Sebuah pernyataan yang bertujuan untuk menyerang lawan sehingga masalah agama pun dipakai untuk merontokkan daya tempur lawan.

Menggiring rakyat
Walaupun ungkapan Rocky Gerung dan Arbi Sanit tidak senonoh, kasar, dan sama sekali tidak sopan, nyatanya mereka berhasil mengalahkan ketenaran kelompok dagelan yang pernah ada, seperti Warkop dan Srimulat. Bahkan, di Indonesia ketenaran mereka di negeri ini lebih dari komedian kelas dunia Mr Bean sekalipun.

Mereka berhasil membuat banyak orang terhormat di negeri ini tak peduli sudah manula, ramai-ramai menertawakan dan memperolok presiden yang sah. Mereka tak sadar kalau penampilannya di tonton jutaan penonton TV yang bisa jadi juga remaja dan anak-anak. Sebuah tontonan arogan yang secara ramai-ramai menikmati ‘kepuasan intelektual’ dan bahkan brain orgasm layaknya wabah penyakit jiwa untuk di tularkan ke rakyat untuk menjadi penikmat keadaan.

Kontan, sejumlah intelektual pun juga tidak kalah reaktifnya. Sejumlah ahli filsafat berkumpul di Kafe Tjikini Lima menggelar diskusi publik berjudul ‘Menolak Pembusukan Filsafat’ dengan pengunjung penuh sesak. Sayangnya, ‘para terdakwa’ (baca: Rocky Gerung, dkk) tidak di hadirkan, walaupun semua tahu makna dari judul diskusi publik tersebut.

Dengan logika sederhana yang di perkuat dengan fakta-fakta valid, bawah sadar publik di giring sehingga sebutan dan stigma buruk pun dianggap benar, atau setidaknya wajar.

Dalam batas tertentu upaya membuat sebagian publik muak dengan berita-berita keberhasilan pemerintah, cukup berhasil. Di lingkungan tertentu, informasi aktual sekalipun di tolaknya karena dianggap itu lagi-itu lagi.

Persoalan tersebut menjadi serius karena sang intelektual termaksud sesungguhnya telah melakukan kesalahan dan juga pelanggaran etika moral secara serius.

Malapraktik intelektual
Mengambil istilah kedokteran, sesungguhnya mereka telah melakukan malapraktik yang harus dijatuhi sanksi. Penampilan tersebut, di dunia militer wajib diajukan ke Dewan Kehormatan Perwira (DKP) dengan sanksi pemecatan dari dinas aktif kemiliteran.

Bagaimana tidak, kalau mereka dengan sengaja hanya menampilkan fakta yang dibutuhkan untuk membenarkan kesimpulannya. Dengan sengaja mereka menyembunyikan fakta yang justru menjadi variabel utama atau bahkan sebagai sine condition dari sebuah keadaan sekalipun.

Klaim bahwa pembangunan tol yang dikerjakan Presiden Jokowi hanya melanjutkan rencana lama yang telah dibikin di zaman Pak Harto dan SBY ialah sebuah kebenaran. Sejumlah pengamat dengan sengaja menyembunyikan fakta bahwa sudah lama proyek tersebut bertahun-tahun mangkrak. Bahkan, ada yang belasan tahun sama sekali tidak disebut.

Apalagi, perubahan model dan pendekatan yang digunakan untuk mengatasi kemangkrakan tersebut, sama sekali tidak disentuhnya. Mereka lupa bahwa dengan ‘plonga-plongo’ saja Pak Jokowi mampu menyentuh saraf ngantuk yang mampu membuat sejumlah ‘macan’ terus tidur nyenyak setelah kekenyangan melalui praktik KKN, bagi-bagi SDA dan fasilitas lainnya di masa lalu.

Mereka lupa, bahwa Pak BJ Habibie dengan gaya intelektualnya yang serbaterbuka harus menghadapi kejamnya politik, yakni pertanggungjawabannya ditolak MPR. Begitu juga Gus Dur yang memilih membangunkan puluhan macan tidur, terpaksa harus melambaikan tangan tanda perpisahan di teras Istana dengan berpakaian celana kolor, sebelum meninggalkan Istana Kepresidenan.

Andai semua ‘data medis’ ada di tangan, niscaya Rocky Gerung akan memaparkan pula bagaimana kepanikan mafioso migas yang puluhan tahun menikmati rezeki besar. Tanah yang membuat proyek-proyek jalan tol mangkrak, import beras, dan belum lagi kepanikan pelaku megakorupsi. Begitu juga yang dilakukan Arbi Sanit yang begitu buruk menilai kapasitas Presiden Jokowi.

Sangat mungkin karena kesibukan sang profesor sampai tidak tahu fakta di lapangan ternyata Presiden Jokowi yang tanpa beban berani membatalkan Keppres Reklamasi Benoa, membubarkan Petral, mengambil alih Freeport dan Newmont, menyilakan KPK membongkar sejumlah mega korupsi dan membubarkan HTI. Hal-hal yang mustahil dikerjakan para pendahulunya. Melalui program debat calon presiden, kini misteri KKN di masa lalu justru dibongkar sang pelaku sendiri, di depan umum.

Intelektual dan pecundang
Kepemimpinan sebagai seni telah dimainkan dengan cantik oleh Presiden Jokowi sebagai tokoh yang bukan bagian dari masalah yang sedang dihadapi bangsa, melalui penampilan ‘plonga-plongo’ dan ‘enggak punya otak’ ala tukang kayu yang bukan keturunan darah biru, ternyata mampu mendetoksifikasi semua penyakit bangsa. Rakyat kini tahu persis siapa saja tokoh yang punya beban masa lalu, dan yang bermasalah atau menjadi bagian dari masalah yang sedang dihadapi bangsa.

Di sisi lain, bukankah kaum intelektual seharusnya paham bahwa ia harus tahu persis apa masalah yang bakal timbul dari perbuatan malapraktiknya tersebut. Dampak kesalahan atau kelalaian seorang intelektual di bidang sosial politik bisa berupa malapetaka kemanusiaan dan atau konflik sosial dengan korban yang besar. Beda dengan dampak malapraktik seorang dokter yang maksimal berupa kematian atau cacat permanen sesorang pasien saja.

Dalam kaitan etika moral inilah kita bisa membedakan antara intelektual dengan teroris. Bagi teroris dan pecundang tak peduli dan tidak mau tahu terhadap masalah yang melingkupi keadaan yang dinilainya buruk. Apalagi terhadap dampak yang bakal ditimbulkannya.

Lantas, bagaimana peran kaum intelektual lainnya maupun lembaga perguruan tinggi dalam menghadapi koleganya yang tidak sadar berperan seperti itu? Haruskah terus diam atau bangkit bersama untuk saling berpesan kebaikan?

Bukankah kaum intelektual juga punya kewajiban moral untuk mencari jalan keluar dari keruwetan dan belenggu realitas, yang berpuluh tahun membelit dan memasung bangsa ini dengan semangat rekonsiliasi? Tentunya bersama Presiden yang sah merajut kembali kebinekaan yang sempat retak, dan upaya untuk segera lepas dari kemiskinan struktural akibat negara salah kelola.

Rasanya kita semua wajib berterima kasih kepada Pak BJ Habibie sebagai bapak bangsa yang baru-baru ini mengingatkan segenap anak bangsa lewat media sosial. Pesan itu berbunyi, “Setinggi apa pun cita-citamu, semulia apa pun tujuanmu, tempuhlah dengan cara terhormat dan kesatria, jangan bohong, fitnah, dan menghalalkan segala cara. Ingat bangsa ini merdeka bukan hasil pecundang dan penipu.”

 

Bersambung…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *