Jakarta, faktapers.id – Terkait penyiaran hasil perolehan suara pada Pilpres 2019 melaui Quick Count (QC) pollster (pengumpul data), masyarakat cenderung tak lagi percaya terhadap media masa dan lembaga survey.
Menyoal hal ini, Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah menegaskan hal itu dikarenakan baik media maupun lembaga tersebut tak lagi netral dalam menjalankan fungsinya.
“Media dan lembaga survey harusnya bersifat netral, jangan partisan. Beda dengan politisi yang memang nggak mungkin netral. Ini yang kita perlu perbaiki ke depan,” ujar pimpinan DPR Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat (Korkesra) itu di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (22/4).
Fahri pun mengungkapkan, kecurigaan QC pollster pasti ada sebabnya, dan yang paling sederhana menjelaskannya adalah politik. Survey dianggap menjadi bagian dari industri politik oleh masyarakat, di satu sisi harusnya dibiarkan saja demikian tapi sisi lain, bahwa para pollster sering ragu.
“Sejauh yang saya mengerti, orang tidak menentang metode sains dalam survey. Tapi yang saya saksikan ditentang orang adalah politik-nya. Karena itu, pada awalnya orang juga tidak menentang hasilnya, tapi orang curiga mengapa ilmu sosial ini menjadi ilmu pasti? Menjalarlah keraguan,” urainya.
Lebih lanjut Fahri mengatakan, industri survey sama dengan industri media massa bukanlah bisnis murahan, karena semua perlu modal dan keahlian. Tapi kedua industri ini harus menghindari monopoli dan oligopoli agar tidak merusak demokrasi.
Baca Juga Sebut Prabowo Rasional, Luhut: Jangan Dengarkan Pembisik
“Jurnalisme kita sekarang bekerja untuk konglomerasi yang berafiliasi solid dengan politik. Pada musim kampanye mereka bekerja untuk politik, dan hanya sedikit yang sanggup netral,” papar legislator PKS dari daerah pemilihan Nusa Tenggara Barat (NTB) itu.
Terutama, sambung Fahri, TV yngg ditonton mayoritas rakyat, semua menjadi jurkam. Sebab itulah tragedi industri media sekarang, untung ada socmed (socil media), dan ada YouTube.
Jika ruang publik frekuensinya dipegang secara partisan, cetus dia lagi, bukan tidak mungkin hak rakyat untuk mendapatkan berita yang berimbang semkin kecil.
Menurut Fahri, begitu pula nasib opini apabila ilmuan, kaum cendikiawan yang kita baca sebagai kelompok masyarakat minoritas yang tercerahkan, menjadi hilang karena seluruh saluran dikuasai oleh persekongkolan politik, uang dan media.
“Lalu semua hanya berani menjadi perkakas kepentingan politik. Idealisme terbang entah ke mana. Marilah kita pikirkan kembali sikap ngotot kita dengan bisnis media dan survey ini,” serunya.
Oleh sebab itu, Fahri mengajak membaca ekosistem yang memungkinkan sikap ilmiah dan independen ada dalam semua metode ilmiah kita. “Sebab, survey teman-teman itu bias anti kelompok, juga anti orang tertentu. Parah,” imbuhnya. oss