Jakarta, faktapers.id – SM (52), perempuan yang menggunakan alas kaki dan membawa anjing saat memasuki sebuah masjid di daerah Bogor, Jawa Barat, dipastikan mengidap gangguan jiwa jenis skizofrenia. Hasil itu berdasarkan observasi tim dokter jiwa Rumas Sakit Polri Kramat Jati selama dua hari, riwayat masalah kejiwaan SM dari rumah sakit jiwa (RSJ) yang menangani SM, serta dari kesaksian pihak keluarga SM.
“Sudah dipastikan (alami) gangguan jiwa, selain kami secara marathon dua hari ini observasi dan melakukan pemeriksaan dan juga dari medical record yang disampaikan ke kami,” ujar Kepala RS Polri Kramat Jati Brigjen Pol Musyafak di RS Polri Kramat Jati, Jakarta Timur, Selasa (2/7/19).
SM diketahui juga kerap melakukan kontrol kondisi kejiwaan di sejumlah RSJ di daerah Bogor.
Disarankan Berobat ke RSJ
Musyafak mengatakan, pihaknya menyarankan kepada penyidik dari Polres Bogor agar merujuk SM ke RSJ untuk diobati masalah kejiwaannya. Dia menyarankan SM dirawat di RSJ terdekat dari rumahnya supaya mudah dikontrol pihak keluarga.
“Dari hasil pemeriksaan dan observasi kemarin selama dua hari ya, itu kami akan beri masukan atau saran ke penyidik untuk tindak lanjut, dan dirawat di RSJ itu usulan kami. Adapun pelaksanaan tergantung penyidik,” ujar dia.
Polres Bogor sudah menetapkan SM sebagai tersangka dengan persangkaan Pasal 156a tentang penistaan agama.
Kapolres Bogor AKBP AM Dicky mengatakan, penetapan tersangka dilakukan atas dasar dua alat bukti yang cukup yakni, persesuaian keterangan, serta barang bukti berupa pakaian dan alas kaki.
“Untuk proses hukumnya memang tetap dilaksanakan seperti itu. Ini 1×24 jam kami sudah menentukan tersangka kemudian status penahanan dan kami jamin bahwa kasus ini tetap dilaksanakan penyidikannya sampai tuntas,” ujar Dicky di Mapolres Bogor, Selasa (2/7/19).
Proses Hukum Berlanjut
Meski dipastikan alami gangguan jiwa dan sudah ditetapkan sebagai tersangka penistaan agama, proses hukum terhadap SM akan tetap berlanjut hingga ke pengadilan.
Pakar hukum pidana Abdul Fickar Hadjar mengatakan, proses hukum SM tetap berlanjut ke pengadilan karena pihak kepolisian terlebih dahulu menetapkan SM sebagai tersangka sebelum mengetahui SM dipastikan alami gangguan jiwa.
Pasal 44 KUHpidana menyebutkan, seseorang tidak dapat dipertanggung jawabkan secara pidana jika cacat kejiwaan atau terganggu karena penyakit.
“Karena sudah ditetapkan sebagai tersangka, maka harus dihentikan penyidikannya dengan SP3 (Surat Pemberhentian Penyidikan), sedangkan yang dapat menjadi dasar menghentikan penyidikan adalah kurangnya alat bukti, tindakannya bukan peristiwa pidana melainkan perdata, tersangka meninggal dunia, (perkara) kadaluarsa dan nebus ib idem atau sudah pernah diputus perkaranya,” ujar Abdul. Dalam kasus itu, polisi tidak bisa lagi menghentikan penyidikan karena tidak memiliki alasan sesuai aturan SP3 yang berlaku. Karena itu, nasib SM akan ditentukan di pengadilan. fp02 (Kompas)