Jakarta, faktapers.id – Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyayangkan pemberian grasi oleh Presiden Joko Widodo atau Jokowi kepada terpidana kasus kekerasan seksual terhadap anak di Jakarta International School (JIS), Neil Bantlemen, yang merupakan warga Kanada.
Menurut Ketua LPSK, Hasto Atmojo Suroyo, pada kasus ini, LPSK mendesak pemerintah memberikan penjelasan kepada publik mengenai pertimbangan apa saja di balik pemberian grasi bagi terpidana kasus kekerasan seksual terhadap anak itu.
“Pemberian grasi merupakan kewenangan presiden. Akan tetapi, pemberian grasi terhadap terpidana kasus kekerasan seksual anak hendaknya dapat memerhatikan rasa keadilan bagi korban dan keluarga,” ujar Hasto seperti dilansir Viva, Selasa (16/7/19).
Dia menyebut, pemberian grasi ini kontraproduktif dengan semangat pemerintah dalam mencegah dan melindungi anak-anak dari para pelaku kejahatan seksual. Sebab itulah, pemberian grasi seharusnya dapat dilakukan dengan lebih memerhatikan rasa keadilan bagi korban.
Di satu sisi, Presiden telah menandatangani Perpu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Namun, di sisi lain, Presiden Jokowi memberikan pengampunan bagi terpidana pelaku kekerasan seksual terhadap anak, apalagi itu dilakukan di lingkungan sekolah dan pelaku adalah seorang tenaga pendidik.
Pemberian grasi bagi terpidana kejahatan seksual terhadap anak ini menuai banyak pertanyaan dari publik. Dasar pertimbangan atas pemberian grasi oleh Presiden terhadap terpidana kasus kekerasan seksual terhadap anak dipertanyakan.
Terpidana kasus sodomi di Jakarta Internasional School (JIS), Neil Bantleman, bebas dari kurungan penjara. Dia bisa menghirup udara bebas setelah mendapat grasi dari Presiden Joko Widodo.
“Sudah bebas dari Lapas Klas 1 Cipinang tanggal 21 Juni 2019,” kata Kabag Humas Ditjen PAS Kementerian Hukum dan HAM, Ade Kusmanto. fp02 (Viva)