Jakarta, faktapers.id ‐ Maklumat Kapolda yang ancaman penindakan tegas terhadap perusuh yang mengganggu keamanan di tanah Papua, ditanggapi sini oleh Komite Nasional Papua Barat (KNPB).
Victor Yeimo selaku Juru Bicara internasional KNPB menyebutkan ada atau tidak maklumat tersebut, aspirasi masyarakat Papua di muka umum sudah dari dulu jadi hal terlarang. Victor juga menyinggung sikap represif aparat dalam tiap aksi unjuk rasa di Papua.
Ia mempertanyakan sebelum ada maklumat tersebut, memang bisa masyarakat Papua berdemo?. Menurutnya sejak dulu berapa banyak orang-orang Papua berdemo dan kemudian dibunuh?
Victor Yeimo mengklaim ribuan masyarakat Papua yang turun ke jalan merupakan bentuk kegelisahan yang selama puluhan tahun tersumbat. Kegelisahan masyarakat Papua, kemudian dibakar dengan hoaks dan hasutan aparat yang terjadi di Surabaya.
“Penghasut dan pelaku hoaks adalah negara. Penguasa yang membuat hoaks terbesar di Indonesia,” kata Victor dari Jayapura, Senin (2/9).
Hoaks yang dimaksud Victor adalah ketika pemerintah menyebut kerusuhan di Deiyai hanya menewaskan dua orang dan satu aparat. Sementara itu pada kenyataannya, kata dia, pihak gereja dan wakil bupati telah mengonfirmasi delapan orang tewas, tujuh di antaranya sudah teridentifikasi sebagai rakyat Papua.
Merasa Ditipu Korlap Aksi
Akan tetapi sekitar 300 pelaku aksi demo pada Kamis (29/8/2019) yang berasal dari masyarakat pegunungan di Papua merasa ditipu oleh koordinator aksi massa yang berakhir ricuh dan anarkistis. Serta secara sadar berkomitmen tidak akan lagi ikut dalam aksi demo dalam bentuk apa pun.
“Mereka yang sempat bersembunyi di kompleks Kelurahan Numbay, Distrik Jayapura Selatan, tadi sore sekitar pukul 14.30 WIT menyampaikan penyesalan dan merasa ketakutan untuk kembali ke tempat tinggal mereka masing-masing di wilayah Abepura dan Waena,” demikian disampaikan oleh Kepala Penerangan Kodam (Kapendam) XVII/Cenderawasih Lektol Cpl Eko Daryanto dalam siaran pers, Minggu (1/9).
Kelompok massa pendemo ini merasa telah ditipu oleh oknum yang tidak bertanggung jawab yang memanfaatkan isu rasisme di Papua.
“Selama tiga hari mereka bersembunyi di wilayah sekitar Kelurahan Numbay, Distrik Jayapura Selatan, mereka tidak berani kembali ke daerah Abepura dan Waena dengan alasan takut mendapat aksi balasan dari masyarakat yang telah menjadi korban aksi penjarahan, pembakaran, pelemparan maupun pengrusakan oleh mereka pada waktu melakukan aksi demo yang berujung rusuh dan anarkis, sehingga menimbulkan kerusakan dan kerugian material di sepanjang Jalan Waena – Jayapura,” terangnya.
Terkait situasi Papua terkini pada Minggu siang, perwakilan kelompok yang sebagian besar berasal dari salah satu wilayah di pegunungan Papua itu (Wamena) menemui salah satu pejabat di Dinas Pendidikan Provinsi Papua, yakni Desman Kogaya.
Mereka datang untuk memohon bantuan agar diberikan jaminan keamanan dan angkutan dalam proses mereka kembali ke daerah Abepura dan Waena.
“Mereka merasa takut mendapatkan aksi balasan dari masyarakat yang telah mengalami kehilangan dan kerusakan aset harta benda yang berharga yang telah mereka rusak atau jarah akibat ulah yang anarkis dan brutal,” katanya.
Hadir pula dalam proses mediasi tersebut tokoh gereja, Wakil Bupati Lanny Jaya, dan anggota Majelis Rakyat Papua (MRP). “Kodam XVII/Cenderawasih telah menyiapkan kurang lebih 15 truk TNI/Polri guna mengangkut massa yang sempat bertahan di wilayah Kelurahan Numbay pasca-aksi demo beberapa hari lalu,” katanya.
Satu orang yang diduga pelaku penjarahan diamankan oleh pihak Polres Jayapura karena pada saat pemeriksaan ditemukan kunci SPM baru di kantong celananya. “Proses evakuasi pemulangan berjalan aman dan lancar dengan pengawalan ketat dari Kodam XVII/Cenderawasih dan Polda Papua,” katanya berkomentar soal situasi Papua terkini.
Maklumat Kapolda Papua
Adapun maklumat Kapolda Papua. Inspektur Jenderal Rudolf Albert Rodja berisi enam poin untuk mencegah dan mengantisipasi gangguan keamanan.
Pertama, maklumat tertulis masyarakat dilarang melakukan unjuk rasa yang disertai perusakan dan kerusuhan dengan kelompok lain. Pada poin kedua, Rudolf melarang setiap orang atau ormas untuk menyebarkan paham separatisme di muka umum.
Di poin ketiga, Rudolf melarang setiap orang melakukan kegiatan yang dapat berujung disintegrasi bangsa atau memisahkan sebagian dari wilayah NKRI. Rudolf lalu menegaskan bahwa menghasut, mengunggah, serta menyebarkan berita tidak benar juga dapat di tindak tegas.
Pada poin kelima, di larang membawa senjata tajam, senjata pemukul atau alat lainnya yang dapat membahayakan orang lain.
“Keenam terhadap para pelaku yang melakukan tindakan pelanggaran hukum dan tindakan anarkis yang tidak patuh pada imbauan ini, aparat keamanan akan melakukan tindakan tegas dan penegakan hukum sesuai Pasal 6 ayat 1 huruf a, Pasal 19, Pasal 20 dan Pasal 21 KUHP,” bunyi maklumat terakhir Kapolda.*/Uaa