Jakarta, faktapers.id – Telah terjadi keterbelahan publik pada pertarungan politik di Pilpres 2019. Hanya munculnya dua kandidat capres akibat electoral trashold 20 persen. Demikian pengamat politik Vox Popoli Center, Pangi Syarwi Chaniago mengungkapkan.
“Pilpres 2019 banyak hal yang sudah kita saksikan bersama-sama ini adalah pertarungan kontestasi elecktoral bagaimana di situ ada downgrade terjadi negatif campaign juga luar biasa. Kemudian Tim Sukses juga bekerja, relawan, jubir juga dan keterbelahan publik juga terjadi,” ujarnya pada Diskusi Peluncuran buku Pangi Syarwi Chaniago Rematch Pilpres : Kontestasi Elektoral dan Keterbelahan Publik di Media Center/Pressroom, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (16/10/19).
Menurut Pangi, keterbelahan ini adalah hal yang juga sebetulnya tidak perlu terjadi, tetapi dengan presiden trashold 20 persen, untuk mengajukan capres yang akhirnya ruang gerak untuk calpres lain tidak muncul.
“Sehingga 267 juta atau hampir 300 juta lebih kurang penduduk kita hanya punya dua calon presiden saja. Artinya pertarungannya akhirnya menjadi bipolar, bertumpu hanya dua kutub, yang senang dengan pak Jokowi atau antitesis dari pak Jokowi,” ungkapnya.
Kalau antitesis dengan Jokowi pasti, sambung kata Pangi, dia akan memilih Prabowo dan begitu sebaliknya. Tidak ada ruang untuk memecah terjadinya gelombang ini, gelombang pilihan lain.
“Ketika terjadinya dua calon, bipolar ini bertumpu pada dua kutub, gesekannya semakin kuat dan tajam, jadi antara suka atau tidak suka dengan anti atau tidak , itu tidak ada pemecah gelombang,”paparnya.
Anggota Fraksi PKS DPR RI, Mardani Ali Sera di kesempatan yang sama mengemukakan tiga hal pendapatnya.
“Ada tiga hal yang akan saya sampaikan. Pertama, tiap orang punya sudut pandang berbeda-beda, Pangi memandang banyak sisi, saya tadi melihat mulai dari agak tajam. Di halaman 157, ketika mengatakan fakir narasi dalam kontestasi. Ini buat saya tajam sekali, harusnya bapak Jokowi dan Bapak Prabowo marah, tetapi itulah faktanya ketika,” tegasnya.
Mardani menilai, kontestasi dengan dua kandidat bukan cerminan yang baik bukan seting yang baik. “Oleh karena itu, saya pribadi kayaknya akan diplot di Komisi II lagi. Gagasan besar bagaimana betul-betul memperjuangkan demokrasi yang substansial, demokrasi yang menghasilkan merit system, efisien, murah tetapi betul-betul kedaulatan rakyat terjaga,” lanjutnya.
Karena itu, terang Mardani, revisi Undang-undang (UU) Partai Politik, revisi UU Pileg, Pilpres, Pilkada empat paket, ini luar biasa, satu lagi sebetulnya, revisi UU Ormas.
“Undang-undang Ormas kita ini masih lucu, sejak zaman Soeharto sampai sekarang semua orang ada di Kesbangpol. Artinya perspektif pengendalian keamanan, padahal ormas atau OMS mestinya tidak dianggap sebagai liability yang harus dikontrol,” ujarnya.
Ungkap Mardani, ormas dianggap sebagai aset yang dikembangkan. “Demokrasi tanpa ormas yang kuat, tanpa parlemen yang kuat, tidak ada demokrasi. Karena itu perubahan ini menarik, contoh kita di konstitusi sudah berani, presiden maksimal dua periode, tapi di partai politik belum ada yang berani memastikan bahwa harus ada sirkulasi kepemimpinan di partai politik. Ini yang menyebabkan banyak hal lanjutannya terjadi,” ucapnya.
Kedua, lanjut Mardani, dengan segala keterbelahan yang ada, dirinya masih melihat dan cukup sedih, karena kualitas demokrasi tidak membaik.
“Bukan cuma freedom house mengatakan, kemarin BPS 17-18 ada catatan, tetapi yang lebih utama keterbelahan ini chosnya demikian besar tetapi tidak mengalami klimaks, dalam pandangan saya keterbelahan yang baik ini sebaiknya, semua parpol pendukung Prabowo, Gerindra,PKS Demokrat, PAN, berkarya ada di kubu oposisi,” cetusnya.
“Kita tidak mengenal oposisi, benar. Tetapi itu dalam bab terminologi ketatanegaraan, tetapi dalam demokrasi selalu ada kekuatan penyeimbang, mau dibilang di luar pemerintahan, tapi untuk simple akan sangat baik. Pemerintahan yang kuat memerlukan oposisi yang kuat. Kondisi sekarang dengan segala etika dan logika yang ada belum tentu, ketika diumumkan akan semuanya jadi koalisi,” jelasnya.
Kata Margani, akan ada juga koalisi kecewa, oposisi karena kecewa, target beberapa menteri.
“Buat saya ini bukan satu contoh yang baik, yang layak dikenang oleh anak cucu kita. Anak cucu kita mestinya dapat menggambarkan 2019 ini pertarungan politik yang elegan, pertarungan politik yang gentleman, yang penuh dengan ksatria, karena menghasilkan keterbelahan,” tandasnya.
Kalau tidak diwadahi Margani mengaku agak khawatir nanti extra parlementer dan sikap prustasi, tidak lagi pro kepada proses konstitusional bisa terjadi. Oleh karena itu catatan kedua saya angkat itu. Ini menarik sekali.
“Terakhir buat saya, bagaimanapun negara kita masih terkategori negara yang muda, dengan segala kemudaan dan kekurangannya kita sudah maju sangat jauh, yang ini harus perlu disyukuri,” serunya.
Buatnya, dengan segala kekurangannya, negeri ii adalah negeri yang harus kita cintai dan buku Pangi adalah salah satu bentuk cinta kita terhadap negeri ini. (OSS).