Denpasar, Bali. faktapers.id – Ahli waris almarhum Frans Bambang Siswanto (FBS) diberitakan mengaku memegang sertifikat pertama lahan dibeli Hotel Mulia dari I Made Sumantra (MS) memantik pertanyaan. Keberadaan sertifikat pertama ini menjadi polemik dalam perkara perdata melibatkan Ahli waris FBS dengan Hotel Mulia bersama MS. Menjadi catatan, jika melalui prosedur tidak benar sertifikat ini berada di tangan ahli waris FBS dan keasliannya disangsikan disebut-sebut bisa masuk ranah pidana.
Pasalnya, sertifikat asli sudah dilaporkan MS hilang tahun 1991 dan sudah diberitakan dalam media cetak, pengumuman BPN sebanyak 2 kali pada harian Bali Nusa tanggal 5 Oktober 1991 dan tanggal 5 November 1991. Belakangan, dikabarkan baru diperlihatkan mendiang FBS ketika melaporkan MS di Polda Bali tahun 2018.
Informasi digali dari penyidik Polda Bali yang menangani kasus pidana MS saat itu, membenarkan bahwa MS baru mengetahui sertifikat pertama dibawa pihak mendiang FBS ketika penyidikan.
“Ya, memang benar Pak Made baru mengetahui sertifikat itu dipegang almarhum Pak Frans. Dan itu ada kami tuangkan dalam berkas pemeriksaan polisi (BAP) yang diserahkan ke kejaksaan,” terang sumber polisi, Sabtu (26/10)
Keterangan dari pihak polisi ini berbeda jauh dari kabar berkembang. Menurut sumber terpercaya, pihak ahli waris FBS mengaku bisa memegang sertifikat pertama lantaran mendiang FBS dulu bekerja sama dengan MS dalam pembebasan lahan. Dimana pihak MS dikasi uang untuk membayar, sedangkan mendiang FBS membawa sertifikatnya. Pernyataan ini menjadi mentah lantaran MS mengaku baru tahu sertifikat dipegang mendiang FBS saat penyidikan polisi.
Keadaan ini mengundang penilaian banyak pihak lantaran terkesan ganjil alias tidak masuk akal. Menjadi aneh, dikatakan dengan membayar luas 5.900 M2 dalam Perjanjian Perikatan Jual Beli (PPJB) di notaris Fransisca bisa memegang sertifikat seluas 11.800 M2. Padahal lahan seluruhnya milik eks Nyoman Endang ini sudah dibeli MS berdasarkan Akta Jual Beli (AJB) No 81 Tahun 1990 di Notaris Ngurah Putra Wijaya dengan lunas.
Wayan Suamba, sebagai anak dari Nyoman Endang eks pemilik lahan mengungkapkan, bahwa pihaknya menjual tanah miliknya pada tahun 1990. Lahan berdiri Hotel Mulia ini dikatakan dulunya merupakan lahan gersang hanya ditumbuhi pohon buah silik kaya. Dia mengaku tidak mengenal sosok almarhum FBS. Dari keterangan Suamba, yang membeli tanah miliknya adalah MS. Diungkap juga bahwa dia pernah dipanggil Polda Bali, dimintai keterangan saat MS dilaporkan pihak almarhum FBS.
“Saya tidak kenal siapa itu Pak Frans. Yang beli tanah saya itu Pak Made, sudah dibayar lunas. Dulu juga saat ditanya polisi saya bilang juga tidak kenal. Memang saya tidak kenal. Masak saya bohong, bilang kenal. Nanti saya dipenjara,” terangnya polos.
Notaris Fransisca disebut-sebut sebagai saksi kunci mengantarkan MS ke dalam jeruji besi ketika ditelusuri keterangannya berubah-ubah. Dalam BAP kepolisian dikatakan bahwa tidak tahu menahu terkait sertifikat itu. Namun ketika bersaksi dalam persidangan mengatakan bahwa mengetahui sertifikat pertama dibawa mendiang FBS.
Sementara Wayan Adimawan, SH, MH selaku kuasa hukum MS ketika dihubungi melalui sambungan hanphone mengakui memang dalam PPJB No 17 tertanggal 4 Oktober 1991 almarhum FBS membeli lahan seluas 5.900 M2 dari luas asal 11.800 M2 atas nama MS seharga Rp 150 juta. Sebelum transaksi dalam fakta persidangan dikatakan MS sudah menyampaikan bahwa sertifikat pengganti masih diproses di BPN Badung karena hilang.
Pengacara akrab disapa Tang ini menambahkan, setelah sertifikat pengganti terbit bulan Desember 1991 hubungan kerjasama usaha MS dan FBS telah retak. Maka dibuatlah perjanjian kemufakatan tertanggal 5 Mei 1993. Dimana dalam kemufakatan itu uang Rp 150 juta dijelaskan sudah dikembalikan kepada FBS dengan memotong hak keuntungan didapat MS.
Sehingga, SHM No 707/Desa Benoa kembali utuh seluas 11.800 M2 milik MS dan dilepaskan kepada pihak lain (Group Mulia). Berdasarkan kemufakatan dibuat dikatakan pengacaranya MS berani menjual tahun 1996. Namun entah pertimbangan apa almarhum FBS mangkir dengan kemufakatan 5 Mei 1993. Dan juga tidak mencabut PPJB No 17 tertanggal 4 Oktober 1991.
Pengacara mendampingi MS dari kasus pidana ini mengungkap bahwa dalam fakta persidangan pidana, kemufakatan 5 Mei 1993 yang didalilkan malah diabaikan. Begitu juga keluarga Nyoman Endang pemilik eks lahan dikatakan juga tidak dihadirkan memberi kesaksian. Hingga pihaknya sampai melakukan upaya kasasi
“Katakanlah kasasi MS ditolak dan dibenarkan punya hak setengah. Tapi kenapa SHM NO.707/Desa Benoa atas nama MS pernah dilaporkan hilang pada tanggal 19 Agustus 1991 berada di tangan almarhum FBS ? Apa dasarnya membayar sebagian 5.900 M2 yang hanya PPJB memegang hak seluas 11.800 M2 ? Sisanya hak siapa itu puluhan tahun dipegang ? Dan apa namanya itu ? Kita masih pelajari. Jika memang mengandung unsur perbuatan melanggar hukum, kita akan melakukan upaya hukum yang sepatutnya. Nanti rekan-rekan media juga saksinya. Ahli waris kan mengaku bawa sertifikat pertama yang perlu diuji keasliannya depan teman-teman wartawan,” tegas Tang.(Tim/ans)