Jakarta, faktapers.id – World Halal Food Council (WHFC), wadah berhimpunnya lembaga sertifikasi halal dunia membahas tentang standar hewan halal yang akan dikonsumsi oleh umat Muslim seluruh dunia pada Forum Pangan Halal Dunia di Jakarta.
Ketua Komite Syariah World Halal Food Council (WHFC) Asrorun Niam Sholeh memaparkan standar hewan halal untuk dijadikan pedoman bagi lembaga sertifikasi halal dunia. Dalam sidang pleno yang digelar Kamis (14/11/2019). Niam lalu memaparkan tentang standardisasi hewan halal yang bisa dikonsumsi dan dijadikan bahan dalam produk pangan.
“Pembahasan standar ini penting untuk menjadi pedoman dalam proses sertifikasi halal, dan pengakuan sertifikat halal dari lembaga halal dunia. Pertemuan ini sangat stretegis, terlebih ini momentum pertama pasca berlakunya efektif kewajiban sertifikasi halal sesuai UU Jaminan Produk Halal”, papar Nuam kepada wartawan di Hotel Sheraton Jakarta, Kamis, (14/11/2019).
Sekitar 48 Lembaga Halal Dunia dari 26 negara yang tergabung dalam World Halal Food Council (WHFC) berkumpul di Jakarta sejak Rabu (13/11) hingga Jumat (15/11) untuk melaksanakan Annual General Meeting. Pertemuan tersebut ditujukan untuk mengevaluasi program selama satu tahun dan membahas berbagai masalah kontemporer terkait produk halal global.
Pembahasan ini merupakan rekomendasi tindaklanjut dari pertemuan sebelumnya yang dilaksanakan di Australia, Italia, dan Indonesia. “Pertemuan komite syari’ah terakhir merekomendasikan pembahasan dan penetapan standar hewan halal seiring dengan semakin berkembangnya teknologi pangan, terutama yang menggunakan bahan hewani”, tutur dosen Pascasarjana UIN Jakarta ini.
Lebih lanjut Niam menjelaskan bahwa pada prinsipnya, hewan halal itu ada yang disebutkan secara eksplisit dalam nash, ada yang disebutkan indikasinya. “Dan ini yang lebih banyak. Karenanya, perlu kedalaman pemahaman, baik aspek syari’ah maupun aspek teknis untuk mengetahui boleh tidaknya suatu jenis hewan untuk dikonsumsi”, ujarnya.
Niam juga memberikan uraian untuk hewan yang haram, di samping disebutkan oleh dalil nash seperti babi, ada juga yang disebutkan indikasinya. “Setidaknya ada enam indikasi yang membuat hewan itu haram dimakan, yaitu karena masuk kategori kotor (khabits), membahayakan (dlaarrah), diperintahkan untuk dibunuh, dilarang untuk dibunuh, sebagai hewan buas yang memiliki taring, memiliki kuku tajam untuk memangsa, serta hewan yang mayoritas makannya barang najis dan kotor”, ujar doktor bidang hukum Islam ini.
Menurut Niam, jika sudah terindentifikasi jenis hewannya apakah masuk kategori boleh dimakan atau disebut sebagai ma’kul al-lahm, maka harus dipastikan persyaratan berikutnya, proses penyembelihan dan pengolahannya. “Kaedahnya, daging hewan yang halal dikonsumsi itu belum boleh dikonsumsi selama belum ada kejelasan tentang proses penyembelihan dan pengolahannya. Dalam konteks bisnis produk pangan, di sinilah urgensi pemeriksaan, auditing, dan sertifikasi halal, guna memberikan jaminan kepada konsumen akan kehalanan produk”, ujarnya.
Sekretaris Komisi Fatwa MUI ini memaparkan, setidaknya ada 11 Fatwa MUI yang terkait dengan hewan, dan yang terakhir adalah fatwa tentang bajing dan bulus. “Setidaknya ada 11 fatwa MUI yang membahas khusus hewan, di antara fatwa tentang daging kelinci, kodok, cacing dan jangkrik, kepiting, bekicot, hewan ternak yang diberi pakan barang, produk yang dihasilkan lebah seperti royal jelly dan bee pollen, kangguru, dan terakhir yang baru ditetapkan kemarin adalah tentang Bajing serta Bulus”, terangnya.
Terkait dengan fatwa tentang Bajing, Niam menjelaskan bahwa teknologi pangan sekarang memungkinkan daging bajing diekstrak sebagai bahan baku pangan. “Untuk itu perlu ada panduan hukumnya”, ujar Niam.
Perlu diketahui bahwa, Fatwa Nomor 48 Tahun 2019 itu menyebutkan, Bajing merupakan hewan yang halal untuk dikonsumsi (ma’kul al-lahm) dengan syarat disembelih secara syar’i. Akan tetapi, bajing di suatu daerah yang ditetapkan sebagai satwa langka wajib dilindungi. Oleh karenanya tidak boleh diburu dan disembelih.
“Standar penetapan hewan halal ini penting untuk dijadikan panduan, agar ada keseragaman parameter dalam proses penetapan fatwa, terutama jika terkait dengan produk berbahan hewani dan turunannya”, pungkas Niam. Herry