Jakarta, faktapers.id – Anggota DPR RI, Fadli menilai, pengangkatan sejumlah orang untuk posisi Wakil Menteri dan Staf Khusus Presiden oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) merupakan pelanggaran janji reformasi yang ia canangkan sendiri.
“Janji Reformasi Birokrasi yang didengungkan oleh Presiden Joko Widodo pada pidato inagurasinya, 20 Oktober 2019 lalu, kini seperti balon kempes. Janji itu telah dilanggar sendiri oleh Presiden,” sebut legislator Senayan dari Fraksi Gerindra itu, dalam pernyataan tertulisnya, Rabu (2711/19).
Menurut Fadli, pengangkatan 12 orang wakil menteri di kabinet baru, dari sebelumnya hanya tiga wakil menteri, serta pengangkatan 14 orang Staf Khusus Presiden, dari sebelumnya 12 orang, merupakan salah satu sebabnya.
“Presiden telah gagal memberi contoh reformasi birokrasi dari lingkungan rumah tangganya sendiri,” tegasnya.
Sementara, sambung Fadli, di lingkungan kabinet, pengangkatan dua orang wakil menteri di Kementerian, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) serta pengangkatan politisi partai sebagai komisaris BUMN seakan hendak menggenapi bukti gagalnya teladan reformasi birokrasi oleh Presiden dan para menterinya sendiri.
“Mestinya, dengan janji reformasi birokrasi, di periode kedua ini Presiden Joko Widodo berusaha membangun pemerintahan yang lebih ramping. Apalagi, pemerintah berencana memangkas jumlah eselon, dari semula lima menjadi hanya tinggal dua, sebuah agenda yang awalnya terdengar cukup menjanjikan,” ujarnya.
Namun, lanjut Fadli, dengan adanya pembengkakan personalia di lingkungan Istana dan kementerian, agenda itu ia mengira kini akan ditanggapi dingin, bahkan sinis, oleh sebagian besar birokra.
“Bagaimana kita bisa mempercayai pemerintahan ini berkomitmen melakukan reformasi birokrasi, jika agenda pertama yang mereka kerjakan justru menggelembungkan birokrasi di lingkungannya sendiri?” tandasnya.
Urai Fadli lagi, kian gemuknya personalia di lingkungan kepresidenan memang kontradiktif dengan pernyataan-pernyataan pemerintah sendiri. Menteri Keuangan, misalnya, dalam berbagai kesempatan terus menyoroti inefisiensi belanja daerah.
“Sekitar 36 persen APBD habis dipakai untuk gaji pegawai dan belanja operasional daerah. Kritik itu saya kira kini harus diarahkan ke Istana,” paparnya.
Ia pun berpendapat, pengangkatan staf khusus hingga belasan, jelas tak menggambarkan adanya komitmen efisiensi dari Presiden sendiri. Apalagi, publik tidak melihat urgensi pengangkatan staf sebanyak itu.
“Terkait pengangkatan staf khusus dari kalangan milenial, saya kira Presiden harus diberi masukan yang benar. Jika Presiden benar-benar berkomitmen pada kemajuan anak muda, seharusnya ia hanya perlu membuat iklim agar anak-anak muda kita bisa berkembang dalam berbagai bidang yang mereka tekuni,” serunya.
Fadli menegaskan, menarik mereka ke lingkungan birokrasi pemerintahan justru kontraproduktif.
“Selain itu, cara ini juga bertentangan dengan tren anak muda masa kini yang terbiasa bekerja secara smart dan efisien. Masukan-masukan dari kalangan muda sebenarnya bisa diperoleh presiden melalui berbagai cara dan forum, tidak harus diformalkan melalui kelembagaan staf khusus yang tidak jelas tugas, pokok, dan fungsinya,” pungkasnya.
“Kesannya ingin terlihat cerdas, tapi cara semacam ini saya kira sangat kurang cerdas. Apalagi jika dilihat dari sisi anggaran. Cerdas dari mana, jika negara harus membayar full time para staf khusus Presiden yang kerjanya hanya bersifat part time?” tambah Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra itu.(OSS)