Jakarta, faktapers.id – Wacana revisi hanya lontaran tak resmi baik dari Menteri Dalam Negeri dan sejumlah legislator Senayan. Terkait penataan daerah, mestinya berada pada perdebatan desain konstitusional.
Hal ini mengemuka dalam Diskusi Forum Legislasi “Revisi UU Pilkada, Adakah Ruang kembali ke DPRD?” di Media Center/Pressroom, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (19/11/19).
Hadir sebagai pembicara dalam kesempatan itu diantaranya Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Saan Mustofa dan mantan Wakil Ketua DPR RI dari Fraksi PKS, Fahri Hamzah.
“Terkait Undang-undang Pilkada, sampai hari ini wacana tentang revisi itu, baru sebatas lontaran yang tidak resmi baik dari Mendagri maupun dari beberapa anggota DPR. Tetapi sebagai bentuk untuk mengakomodir aspirasi dan sebagainya, Komisi II tetap memasukan UU Pilkada bagian dari hal yang akan dimsukan ke Prolegnas (progeram legislasi nasional), apakah di prolegnasnya di tahun 2020 atau yang akan datang, nanti prolegnas yang akan menentukan apakah menjadi prioritas atau tidak,” kata Saan Mustofa.
Tetapi, sambungnya, sebagai pandangan pribadi dirinya menilai, agar semakin berkualitas UU tersebut perlu dievaluasi baik dalam pelaksanaanya juga mampu meningkatkan kualitas demokrasi dan mampu melahirkan pemimpin daerah yang baik.
“Evaluasi itu penting, nanti bagian-bagian mana saja yang di evaluasi itu akan kita lihat dari sisi selama ini, titik-titik kelemahannya. Misalnya ada banyak sebagian orang menganggap pilkada langsung terlalu mahal, tinggi biaya politiknya, nanti kita lihat biaya politik yang paling mahal itu ada dimana saja,” urai Saan lagi.
Sementara itu, Fahri Hamzah mengungkapkan, satu hal yang sering diamatinya dari perdebatan sering kesasar dan hilang di tengah jalan, karena tidak punya gambar besar daripada persoalan.
“Sebaiknya perdebatan tentang penataan kelembagaan daerah, itu betul betul berbasis kepada desain konstitusional kita tentang bagaimana sitem kelembagaan pemerintahan kita baik di kamar eksekutif, di cabang kekuasaan legislatif dan juga yudikatif yang berefek kepada pengembangang kelembagaan-kelembagaan lainnya,” serunya.
Diakui Fahri, dirinya terkesan frustasi melihat ongkos pilkada mahal.
“Pingin pilkada di pilih oleh DPRD, nanti ada lagi kesana lari kesini lagi dan seterusnya, jadi harusnya dimulai dengan desain lalu ketemu dengan akarnya. Kita ini sering bernegara tetapi jarang ketemu akar, misalnya nanti kecurangan pemilu itu, akarnya dimana, itu sama akarnya dengan bangkrutnya BPJS (Badab Penyelenggra Jaminan Sosia),” tukasnya.
Tegas Fahri, tak akan ketemu, padahal akarnya sama, akarnya di data base penduduk.
“Kenapa orang curang? Karena yang milih ga pernah jelas, versi KPU beda, versi Dukcapil beda, versi DPT beda dan seterusnya, sama juga dengan di BPJS, kenapa dia bangkrut, karena dia ga tau sebanarnya yang dia tanggung ini berapa banyak karena data penduduk yang ga jelas. Begitu masuk pada persoalan akan kemudian ngga diselesaikan,” demikian Fahri. (OSS)