Jakarta, faktapers.id – Menutup rangkaian Peringatan Hari Disabilitas Internasional yang jatuh pada 3 Desember 2019 lalu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) melaksanakan acara talkshow dengan Tema ”Mendengar Suara Perempuan Penyandang Disabilitas agar Mandiri dan Berpartisipasi dalam Pembangunan”.
Talkshow ini bertujuan untuk mendengarkan suara perempuan penyandang disabilitas demi memperjuangkan hak-hak dan kesejahteraan mereka di semua bidang pembangunan, baik politik, sosial, ekonomi, dan budaya.
“Tema ini kita gaungkan dengan tujuan agar perempuan penyandang disabilitas dapat mandiri dan berprestasi dalam pembangunan. Hal ini disebabkan karena masih banyak di antara mereka yang mengalami hambatan dan diskriminasi, tidak hanya dari eksternal tapi juga internal. Banyak yang disembunyikan keluarganya di rumah, mereka akan berpotensi menjadi korban kekerasan”, ungkap Asisten Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan dalam Situasi Darurat dan Kondisi Khusus, Nyimas Aliah dalam sambutannya di Jakarta (12/12/2019).
Menurut Nyimas, hal tersebut merupakan bentuk kekerasan dan penelantaran karena hak-hak dari perempuan penyandang disabilitas ini tidak dipenuhi, baik hak pendidikan atau untuk bersosialisasi. “Jika sejak awal perempuan penyandang disabilitas disekolahkan tentu mereka akan bisa mandiri dan berprestasi”, tegas Nyimas.
Berdasarkan data Sentra Advokasi Perempuan Disabilitas dan Anak (SAPDA) Daerah Istimewa Yogyakarta, pada 2015 tercatat 29 perempuan penyandang disabilitas menjadi korban kekerasan berupa kekerasan seksual, kekerasan fisik, dan kekerasan ekonomi. Sebanyak 33 kasus terjadi pada 2016 dan meningkat menjadi 35 kasus pada 2017. Komisi Nasional Perempuan juga membeberkan data bahwa pada 2015 tercatat 29 orang perempuan penyandang disabilitas menjadi korban kekerasan seksual, kekerasan fisik, dan kekerasan ekonomi.
“Masih banyak perempuan penyandang disabilitas yang mengalami masalah karena keterbatasannya, baik dalam hal kesehatan, ekonomi, pendidikan, pendampingan hukum dan lingkungan yang tidak mendukung. Hal inilah yang menghambat perempuan penyandang disabilitas korban kekerasan untuk mendapatkan akses keadilan sebagai haknya”, jelas Nyimas.
Di samping itu, Nyimas menuturkan bahwa perempuan yang memiliki anak penyandang disabilitas juga banyak mengalami stigmatisasi oleh keluarganya. Seringkali sang ibu disudutkan dan dikucilkan dari keluarga besar yang menyalahkan kondisi anak akibat dari kesalahannya. Melalui talkshow ini, diharapkan seluruh peserta yang hadir bisa membuka pandangan untuk memahami serta fokus dalam isu perlindungan perempuan penyandang disabilitas, maupun perempuan yang memiliki anak disabilitas.
“Saat ini, Kemen PPPA juga sedang menyusun rancangan Rencana Aksi Nasional (RAN) terkait perlindungan lebih dan perlindungan khusus terhadap perempuan penyandang disabilitas korban kekerasan. Ke depan kami harap RAN ini bisa fokus pada perlindungan perempuan penyandang disabilitas korban kekerasan”, ungkap Nyimas.
Kemen PPPA bersama Kemenkumham juga sedang membahas sekaligus mendorong pembentukan Komisi Nasional Disabilitas (KND). Di mana ada satu pasal yang mengatur terkait keterwakilan penyandang disabilitas yaitu sebesar 30 persen harus ada dalam KND nanti.
Talkshow tersebut menghadirkan salah satu narasumber yaitu seorang ibu dari 4 orang anak penyandang disabilitas tuli, Masniari Siregar. Ia bercerita bahwa dirinya selalu mengajari anak-anaknya untuk rajin belajar dan beribadah hingga akhirnya salah satu anak Masriani yang bernama Rachmita Maun Harahap, saat ini sudah menjadi dosen di salah satu universitas swasta dan sedang menjalani pendidikan doktor (S3) di salah satu universitas negeri.
“Berbagai ketidakadilan yang seringkali dialami perempuan penyandang disabilitas yaitu double diskriminasi, meliputi diskriminasi gender dan diskriminasi disabilitas antara budaya patriarkal dan ableisme. Antara lain seperti subordinasi yang menganggap perempuan disabilitas tidak memiliki kapasitas/kemampuan sehingga suaranya tidak dianggap atau didengarkan”, ujar pengurus Yayasan Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak (Sapda), Renny.
Renny menambahkan bentuk ketidakadilan lainnya yaitu adanya stigma atau stereotipe yang menganggap perempuan disabilitas tidak sanggup mengurus hal domestik, apalagi hal publik. “Perempuan dengan keterbatasan juga sering mendapatkan kekerasan berupa fisik ataupun seksual dari pasangan, keluarga, atau masyarakat. Inilah pentingnya memberikan pendidikan kesehatan reproduksi pada mereka untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual yang mengancam mereka kapan pun dan di mana pun,” tegas Renny.
Selain itu, Renny menjelaskan ada beberapa faktor yang mendukung perempuan disabilitas agar dapat berdaya, yaitu adanya dukungan, diberikan kesempatan yang sama, dan partisipasi. “Menghilangkan ketidakadilan gender dan disabilitas akan memberikan peluang besar bagi perempuan disabilitas untuk maju, berdaya dan berkarya”, pungkas Renny. Herry