Denpasar, Bali. faktapers.id – Proyek reklamasi PT Pelabuhan Indonesia III (Pelindo III) kembali menjadi sumber gejolak masyarakat Denpasar. Warga dua banjar adat di Denpasar Selatan (Densel), yakni Banjar Sakah, Kepaon-Pemogan dan Banjar Psanggaran, Pedungan perang ‘urat saraf’ akibat beda persepsi tapal batas ke dua wilayah itu.
Menanggapi hal tersebut, Humas Pelindo III Kantor Regional Balinusra, Mareta Mulia Admaja mengatakan penetapan tapal batas tersebut bukanlah kewenangan pihaknya. Ia mengatakan sudah melakukan sosialisasi ke lingkungan penyanding, yakni Banjar Psanggaran, Pedungan yang mereka anggap satu-satunya lingkungan terdampak.
“Kalau soal batas teritori wilayah, itu kami tidak bisa tanggapi. Yang jelas kami sudah bekerjasama dengan Pak Gubernur Bali, turunannya kami sudah bekerjasama dengan Pak Wali Kota Denpasar. Jadi nanti pasti beliau-beliau yang akan menentukan batas-batasnya. Utamanya kami ini (Pelindo III) siap merangkul semua,” ungkapnya, Jumat (20/12).
Ditanya terkait sosialisasi ke warga Banjar Sakah, Mereta mengaku tidak tahu persis lantaran sejak ia bertugas di Bali, izin tersebut sudah ada. Ia mengaku tidak dapat mengkonfirmasi hal tersebut. “Kalau untuk sosialisasi itu, saya belum bisa konfirmasi sekarang ada atau tidaknya, karena izinnya sudah ada sejak saya pertama bertugas di sini 2018,” ujarnya.
Kelian Banjar Sakah, AA. Gede Agung Aryawan ST., sebelumnya mengungkapkan di media bahwa ia mempertanyakan proyek reklamasi Pelindo III di area Dumping I Pelabuhan Benoa karena tidak melakukan sosialisasi rencana pembangunan proyek tersebut ke lingkungannya.
Bukan tanpa sebab, hal ini lantaran lokasi proyek Dumping 1 itu menurutnya masuk ke dalam wilayah palemahan (lingkungan, red) banjar adatnya. Dan, dalam peraturan perizinan reklamasi, semestinya ada sosialisasi yang dilakukan pihak perusahaan ke lingkungan terdampak.
Terlebih di saat musim hujan seperti saat ini, air sungai (Tukad Waru) yang mengalir ke Loloan yang bermuara di Teluk Benoa menurutnya, terhambat alirannya ke laut akibat tanah timbul hasil reklamasi Dumping 1 itu. Kondisi ini menurutnya tentu akan menyebabkan terjadi banjir.
Semua ini baru mengemuka ke publik menurutnya karena dari awal tidak ada sosialisasi rencana reklamasi yang dilakukan pihak Pelindo III tersebut ke warga Banjar Sakah, sehingga mereka tidak dapan menyapaikan apa yang menjadi aspirasi warga terkait dampak terhadap lingkungannya.
Terkait masalah ini, Wayan Adimawan, selaku pengacara mengatakan bahwa sosialisasi ke lingkungan terdampak dari proyek pembangunan tersebut adalah satu keharusan sebagai sayarat dikeluarkannya izin reklamasi. Jika hal tersebut tidak ada menurutnya, tentu izin yang diterbitkan menjadi cacat hukum.
“Ya tentu mereka (Pelindo III harus sosialisasi untuk mendapatkan izin lingkungan, sebagaimana diatur dalam Perpres No. 122 Tahun 2012 dan Permen-KP No. 25 Tahun 2019 tentang Izin Pelaksanaan Reklamasi,” terangnya.
“Yang saya dengar benar area reklamasi Dumping 1 itu berada di wilayah lingkungan Banjar Sakah. Terlebih lagi kalau titik tapal batasnya itu adalah benar di Pura Prapat Nunggal, dilihat dari peta Google, maka semakin jelas lagi bahwa Dumping 1 ada di wilayah Banjar Sakah, yang otomatis terdampak,” tandasnya. (Tim)