Jakarta, faktapers.id – Kebijakan Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Disparekraf) DKI Jakarta, Cucu Ahmad Kurnia melalui Surat Edaran No 160/SE/2020 tanggal 20 Maret 2020 tentang Penutupan Sementara Kegiatan Operasional Industri Pariwisata Dalam Upaya Kewaspadaan Terhadap Penularan Infeksi Covid-19) mendapat cibiran dan kutukan dari kupu-kupu malam.
Sebut saja Melati, janda bohay yang bekerja di salah satu cafe di wilayah Jakarta Barat, mengungkapkan, apabila tempat hiburan di tempatnya bekerja di tutup sementara, maka penghasilannya akan berkurang.
“Saya punya anak satu, dan harus saya biayainya setiap bulan. Orangtua saya juga miskin. Apakah saya harus jual diri agar bisa menghidupi anak saya dan keluarga saya?” ujarnya.
Warga Kabupaten Subang yang mengontrak rumah petakan di Kapuk, Cengkareng itu, kecewa atas kebijakan Gubernur DKI Jakarta melalui Kadis Parekraf DKI Jakarta yang menghimbau penutupan sementara industri pariwisata terkait Covid-19.
“Sejak Corona merebak, manajemen tempat saya bekerja langsung menyediakan pengukur suhu badan dan cairan antiseptik. Para tamu pun dihimbau untuk selalu cuci tangan. Alhamdullilah…, tempat usaha di tempat saya bekerja selalu ramai, karena tamu juga nyaman dan tidak takut terinfeksi. Kalau sudah begini, apakah tempat saya bekerja harus ditutup juga?” ujarnya.
Janda bohay nan rajin sholat itu mengatakan bahwa walaupun dirinya bekerja di dunia malam, namun dirinya tetap bersyukur atas rizki yang diterimanya dari tamu dan manajemen. Rizki itulah dimanfaatkan olehnya untuk menghidupi anak dan keluarganya yang berada di Subang.
“Kalau tempat hiburan ini ditutup, anak dan keluarga saya makan apa? Baru saya lho…, lalu bagaimana dengan terapis dan waitress bahkan LC di tempat lain? Nasibnya tidak akan jauh beda dari saya,” tandasnya.
Melati berharap agar himbauan Kadis Parekraf tersebut direvisi kembali, demi kelangsungan hidup manusia yang mencari nafkah di Kota Metropolitan ini.
Berbeda halnya dengan Susi, salah satu terapis griya pijat di bilangan Tanjung Duren, Jakbar, bahwa dirinya akan angkat kaki dari Kota Jakarta, dan kembali ke kampung halamannya di Kabupaten Sukabumi.
Langkah ini ditempuh karena griya pijat tempatnya bekerja wajib ditutup sementara, dan dirinya pun tidak ada penghasilan serta tidak dapat membiayai hidupnya selama himbauan penutupan sementara tersebut.
“Kota ini sudah menjadi kota mati. Semua ketakutan. Tempat hiburan di tutup, tidak dapat mencari nafkah lagi. Entah siapa yang salah, apakah kota ini sudah terlalu banyak dosa-dosanya hingga kebijakan pemimpinnya tidak lagi melihat sisi kehidupan warganya,” sendunya.
Susi menjelaskan, bahwa untuk ongkos pulang ke kampung saja harus mengutang ke manajernya.
Miris…! itulah ungkapan yang dapat disampaikan kepada pemimpin negeri ini. Kebijakan Anies Baswedan melalui Kadis Parekraf DKI Jakarta mengenai penutupan tempat-tempat pariwisata, seperti klub malam, karaoke keluarga, SPA, Pijat Griya, Bioskop, Bola Gelinding dll dipandang tidak populer dan membunuh perekonomian Kota Jakarta.
“Tanpa tempat hiburan, akan muncul masalah baru, orang stress akan membludak layaknya jamur di musim penghujan,” ujar salah satu clubber, Yongki, saat ditemui Jumat (20/3), di Diskotik Pujasera.
Kebijakan ini tentu kata dia, membuat sengsara para pelaku usaha. “Mengingat, kebutuhan ekonomi, keluarga kami juga perlu biaya untuk kehidupan,” pungkasnya.
Tertulis Dalam Surat Edaran Pemerintah Provinsi DKI Jakarta (Ka. Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif ) No.160/SE/2020 tentang Penutupan Sementara Kegiatan Operasional Industri Pariwisata Dalam Upaya Kewaspadaan Terhadap Penularan Infeksi Corona Virus Disease (Covid-19), mulai tutup Senin, 23 Maret sampai dengan Minggu, 5 April 2020. kornel