Headline

KPAI Sebut Tayangan Visual dan Game Online Dapat Pengaruhi Mental Anak

×

KPAI Sebut Tayangan Visual dan Game Online Dapat Pengaruhi Mental Anak

Sebarkan artikel ini

Jakarta, faktapers.id – Kasus Seorang remaja NF (15), di Jakarta Pusat, yang tega membunuh bocah berinisial APA (5), tetangganya secara sadis dengan membenamkan korban ke dalam bak mandi lalu untuk menghilangkan jejaknya menaruh korban ke dalam lemari.

Dan setelah melakukan pembunuhan, barulah keesokan harinya pelaku melaporkan sendiri perbuatannya kepada Polsek Metro Taman Sari Jakarta Barat.

Rupanya mendapat tanggapan dari Komnas Perlindungan Anak. Dikatakan Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia Arist Merdeka Sirait dalam keterangan persnya yang diterima redaksi Fakta Pers.id, Senin(9/3/2020).

Atas adanya kejadian itu, dapat dipastikan bahwa tindakan pidana yang dilakukan NF terhadap korban APA adalah dampak dari ketergantugan pelaku terhadap Gaway, media sosial dan Game Online yang mengandung kekerasan.

Lebih jauh Arist Merdeka Sirait menjelaskan, bahwa cara-cara dan tindakan sadistis yang dilakukan pelaku terhadap korban adalah pertanda atau bukti yang telah menunjukkan, tindakan pelaku merupakan dampak dari gangguan kesehatan mental dan jiwa pelaku.

“Dengan terganggunya kesehatan mental dan jiwa anak akibat ketergantung pada Gaway, tayangan media sosial, tayangan-tayangan film dan game online, yang mengandung kekerasan dapat diduga pelaku mempunyai sifat dan perilaku sadistis, bahkan bisa menjadi psikopat,” pungkasnya.

Kondisi inilah, kata Arist, yang mendorong pelaku melakukan tindakan sadistisnya dan secara psikologis, pelaku merasa terpuaskan dengan tindakannya dan tidak merasa bersalah, tidak ada takut dan menyesal.

Lebih lanjut Arist mengatakan, pemicu lain anak dapat mempunyai perilaku sadistis seperti yang dilakukan NF terhadap APA, itu dapat ditimbulkan karena pelaku berada pada lingkungan sosial rumah yang tidak nyaman dan terbebas dari situasi kekerasan.

“Bisa juga karena anak berada dalam situasi keluarga “broken home” dan selalu melihat serta merasakan tindak kekerasan,”tukasnya.

Tontonan maupun tayangan-tayangan kekerasan yang sering dikonsumsi pelaku, ungkap Arist, juga bisa menjadi pemicu atau triger anak melakukan tindak pidana diluar kebiasaan dan tumbuh kembang anak sebagai remaja.

“Itu berarti tumbuhnya perilaku sadistis dan tidak berprikemanusiaan juga harus dilihat secara baik, bahwa ada kontribusi orang terdekat dan lingkungan sosial anak yang mempengaruhinya,” ungkapnya.

Pada umumnya beber Arist, ciri-ciri dari anak terganggu mental dan jiwa anak akibat ketergantungan Gadget, dan tayangan-tanyangan yang kontennya mengandung kekerasan, dapat dilihat yang sebelumnya mempunyai sifat periang gembira berubah menjadi pendiam, menyendiri, keluar dari lingkungan dan pergaulan sosial anak, gelisa, cemas, menjauhkan diri dari lingkungan sosialnya, suka menyendiri dan asyik dengan dirinya sendiri.

Dari ciri-ciri tersebut, lanjutnya, dampak lain yang dapat dilihat anak bisa menjadi “psikopat” dimulai dengan munculnya kebiasaan menyakiti bahkan membunuh binatang-binatang kecil yang ada disekitarnya seperti cicak, kecoa, lalu meningkat menyakiti dan membunuh binatang seperti burung, kucing, ayam dan bahkan binatang peliharaan lainnya, bahkan menyakiti diri sendiri seperti melakukan percobaan bunuh diri.

Bahkan dapat dilihat, setiap kali pelaku melakukan tindakan yang diinginkannya, pelaku selalu mencatat korbannya bahkan menggambarkan rencana dan tindakannya dalam bentuk gambar, karikatur bahkan lukisan media lainnya.

“Jadi apa yang dilakukan NF terhadap APA sudah dapat dikategorikan mengarah pada ciri-ciri tersebut,” bebernya.

Arist juga menceritakan, sesungguhnya peristiwa serupa pernah terjadi 5 tahun yang lalu di Lombok, Nusatenggara Barat (NTB), dimana ada seorang anak berusia 11 tahun menggorok leher teman sebayanya dengan sajam tumpul.

Perbuatannya muncul terinfirasi dari kebiasaan anak setiap hari menonton film
Kriminal, yang ditayangkan FOX Crime dari salah satu TV Jaringan berlangganan.

Pada saat pelaku ditemui Tim Komnas Perlindungan Anak pada masa itu di rumah rehabilitasi dan pemulihan di Lombok, Mataram si anak yang besar di lingkungan keluarga terdidik tidak menunjukkan prilaku sadisme, sepertinya anak-anak baik yang tidak mungkin melakukan sesadis itu.

“Dengan peristiwa ini, tentu Komnas Perlindungan anak yang diberikan tugas membela dan melindungi anak di Indonesia, segera berkoordinasi dengan Polres Jakarta Pusat, guna melakukan asesmen terhadap pelaku untuk mendapat layanan dari psikolog klinis dan Komnas Perlindungan Anak. Dalam kesempatan ini juga menyampaikan turut berduka sedalam-dalamnya terhadap keluarga korban,” tandasnya.

Disamping itu, Komnas Perlindungan Anak mengajak semua masyarakat agar menggunakan momentum ini, untuk dijadikan ajang refleksi keluarga Indonesis sudah sejauh mana perhatian kita kepada perkembangan psikologis anak khusus anak remaja milenial.

Dengan demikian, Arist Merdeka Sirait mengajak semua komponen bangsa, orangtua, masyarakat, pemerintah dan negara bersama bahu membahu mengkampanyekan stop penggunaan Gaway, game online media sosial yang mengandung kekerasan dan kebencian seperti film Chucky dan Slender man serta tayangan-tayangan lainnya. Demikian pesan Arist Merdeka dalam mengakhiri penjelasannya.(man)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *