Jakarta, faktapers.id – Langkah hukum yang ditempuh PT Mahkota Aman Sentosa (MAS) selaku pengelola Diskotik Golden Crown di Kawasan Glodog Tamansari Jakarta Barat, untuk menggugat Pemprov DKI ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, dinilai sudah melalui jalur yang tepat.
Demikian diungkapkan Pemerhati Tempat Hiburan Malam (THM), S. Tete Marthadilada kepada awak media ketika menanggapi seputar gugatan pengelola Diskotik Golden Crown yang ditutup permanen Pemprov DKI Jakarta, beberapa waktu lalu. Gugatan itu sudah tepat sesuai jalur hukum dan sudah sepantasnya pemerintah DKI Jakarta di PTUN-kan.
Penyegelan diskotik tersebut dilanjutkan dengan pencabutan Surat Tanda Daftar Usaha Pariwisata (TDUP) PT. Mahkota Aman Sentosa selaku pemilik usaha diskotik Golden Crown oleh Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu, Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 19 tahun 2020 tentang Pencabutan Tanda Daftar Usaha Pariwisata PT Mahkota Sentosa Aman tertanggal 7 Februari 2020.
Namun demikian, jalannya proses hukum dalam persidangan harus dikawal agar terbebas dari intervensi pihak manapun. Karena, biasanya apabila menyangkut tempat hiburan malam maka banyak pihak yang ikut campur tangan. Terlebih dalam situasi pandemi Covid-19, biasanya sidang dilakukan dengan cara video coverence (vicon).
Langkah hukum yang ditempuh PT MAS yang menampung ratusan tenaga kerja ini patut diapresiasi, karena dinilai cukup berani menggugat Pemprov DKI Jakarta yang dituding bertindak sewenang-wenang dengan dalih menegakkan Peraturan Gubernur (Pergub) No 18 Tahun 2018. Bahkan, sudah ada beberapa tempat hiburan di ibukota yang ditutup permanen dengan jeratan pasal yang sama. Maka dari itu, pengusaha hiburan malam yang merasa dirugikan Pemprov DKI seyogyanya mengikuti langkah hukum yang ditempuh pengelola Golden Crown.
“Upaya hukum ini terlepas suka atau tidak suka, tetapi semata mencari keadilan. Sedangkan Peraturan Daerah yang dirasa sangat membebani, melemahkan dan bisa merugikan pengusaha perlu ditinjau ulang untuk direvisi. Karena hal ini menyangkut kepastian hukum usaha dan kepastian kerja para karyawan,” ujar Mastete kepada faktapers.id, Selasa (2/6/2020).
Nasib para pekerja di sektor wisata, khususnya tempat hiburan malam dan sejenisnya sangat memprihatinkan. Bagai jatuh tertimpa tangga. Tempat bekerja ditutup menyusul penerapan PSBB karena pandemi Covid-19, hingga melumpuhkan semua sektor usaha.
Sementara para pekerja masih banyak yang tertahan di Ibukota, karena terhalang pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), baik di Jakarta maupun daerah tempat asal mereka. Bahkan saat Idul Fitri lalu, banyak pekerja Diskotik Golden Crown mengikuti anjuran pemerintah dan lebih bertahan di kontrakannya.
Tempat hiburan, kata Mastete, apabila ditutup berdampak domino. Dampak sistemik, karena sektor usaha ini menyangkut hajad hidup orang banyak, baik itu karyawan maupun berdampak pada angkutan umum seperti bajaj, mikrolet, taksi, ojol, pedagang, tukang parkir serta para pekerja freelance.
Menyangkut penutupan dan pencabutan surat izin usaha pariwisata Diskotik Golden Crown, lanjut Mastete, Pemprov DKI Jakarta dinilai berlaku kurang bijaksana dan tidak adil. Sebab, kasus sama yang terjadi di apartemen, rumah kost dan hotel mendapat perlakuan hukum yang berbeda. Hal inilah yang dirasakan sebagian pengusaha hiburan bahwa penerapan hukum yang tidak adil.
“Harus dibina dan jangan dibinasakan. Kan ada batas toleransi dari pelanggaran itu sendiri. Pelanggaran dan penyalahgunaan itu disengaja atau tidak, dan atau malah ada usaha penjembakan. Ini yang kudu dicermati oleh aparat terkait,” tegasnya.
Seperti diketahui, Pemprov DKI Jakarta dalam menutup tempat hiburan diskotik dan sejenis usaha wisata lainnya itu, mengutip Pasal 38 ayat 2 huruf f Pergub Nomor 18 Tahun 2018 yang berbunyi, “Setiap pengusaha pariwisata berkewajiban mengawasi dan melaporkan apabila terjadi transaksi dan atau penggunaan/konsumsi narkotika dan zat psikotropika lainnya di lingkungan tempat usahanya.”
“Di pasal dan ayat inilah yang dirasa para pengusaha sebagai pasal karet. Dan kata pembiaran disitu bisa diasumsikan sebagai “jebakan batman”,” ujar Mastete.
Secara pribadi, Mastete sangat mendukung upaya pemerintah memberantas peredaran dan penyalahgunaan narkoba. Karena barang haram ini jelas-jelas merusak generasi bangsa. Sementara aparat yang berwenang belum sepenuhnya mampu menutup peredaran di sub-sub hilirnya, terlebih di hulunya.
Mastete menambahkan, penutupan beberapa tempat hiburan di DKI Jakarta, termasuk Diskotik Golden Crown, di tengarai banyak menimbulkan asumsi publik bermacam-macam. Ada yang menuding penutupan permanen tersebut karena ada tekanan kuat dari ormas atau pihak lain.
Di sisi lain, Pemprov DKI Jakarta bisa berkelit dari tudingan tekanan ormas karena memiliki “senjata pamungkas” Pergub No 18 Tahun 2018, dimana bagi para pengusaha hiburan malam produk hukum tersebut dianggap melemahkan usaha hiburannya.
Terlepas mana yang benar dan mana yang keliru, begitu halnya mana yang melanggar dan mana yang bertindak arogan, berpulang pada putusan PTUN Jakarta nanti. Semua pihak harus menghormati dan legowo menerima putusan akhir pengadilan.
Pemahaman Aturan
Sementara itu, Asosiasi Pengusaha Hiburan Jakarta (Asphija) menyebut gugatan tempat hiburan malam Golden Crown pada Dinas Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) DKI Jakarta di Pengadilan Tata Usaha Negada (PTUN) Jakarta, menjadi pemahaman soal aturan daerah.
Kalau dari Asphija, jika ada gugatan kami ngikutin aja. Antara senang dan nggak juga. Senangnya, kita jadi paham secara aturan siapa yang benar dan nggak,” kata Ketua Asphija, Hana Suryani saat dihubungi di Jakarta, Selasa (2/6/2020).
Pasalnya, kata Hana, kasus Golden Crown ini muncul akibat giat yang dilakukan oleh pihak ketiga, yakni Badan Narkotika Nasional (BNN) dan kepolisian, namun penutupan itu tetap dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta, meski pihak Diskotek Golden Crown mengaku belum ada surat rekomendasi.
“Itu yang diharapkan oleh kita semua. Karena teman-teman di asosiasi berpandangan dasar penutupannya dari rekomendasi, namun ini kan belum keluar rekomendasinya. Intinya biar kita semua tau, proses yang benar bagaimana,” ucapnya.
Hana menyebut akibat penutupan Golden Crown kemudian disusul penutupan Diskotek Black Owl yang terkesan terburu-buru, membuat bingung para investor, terlebih mereka juga masih harus memikirkan operasional dan mengurus karyawan yang tidak sedikit.
“Betul memang disebut oleh dinas (Pariwisata) bahwa pencabutan itu sudah sesuai Undang-undang karena ada laporan media massa dan warga. Tapi kan ini pemicunya ada giat BNN, kenapa tidak tunggu BNN sampai keluar rekomendasi atau surat keterangan apa yang terjadi di sana, para anggota melihatnya tidak ada kebijaksanaan di sini,” ucap Hana.
Dipersilahkan Menggugat
Seperti diberitakan sebelumnya, Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Parekraf) DKI Jakarta merespon adanya gugatan yang dilayangkan PT Mahkota Aman Sentosa selaku pemilik Diskotik Golden Crown. Dinas menyebut, pencabutan izin TDUP Golden Crown sudah mengacu aturan yang berlaku.
Informasi yang dihimpun media ini, Kepala Dinas Parekraf DKI Jakarta Cucu Ahmad Kurnia mengatakan, gugatan tersebut merupakan hak setiap warga negara karena telah diatur oleh UU.
Namun dia memastikan, pencabutan izin TDUP Golden Crown juga mengacu pada Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 18 tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Usaha Pariwisata.
Aturan itu menjelaskan bila pembiaran penyalahgunaan narkotika, izin usaha wajib dicabut tanpa harus melayangkan surat peringatan. Terlebih, ada 100 lebih pengunjung yang terbukti memakai narkotika berdasarkan razia yang dilakukan Badan Narkotika Nasional (BNN) Provinsi DKI Jakarta.
Namun pengelola berdalih, pihak manajemen merasa tidak terlibat dalam peredaran narkotika yang terjadi di kalangan pengunjungnya.
“Di dalam (diskotek) kan banyak yang positif memakai narkoba, itu bukan kesalahan manajemen, menurut mereka. Tapi kan berdasarkan temuan di lapangan yah, bahwa yang diamanatkan aturan telah terpenuhi (ada pelanggaran),” jelas Cucu.
Adapun Indradi Thanos selaku Direktur Utama PT Mahkota Aman Sentosa menggugat Pemprov DKI Jakarta ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Thanos menggugat DKI setelah tempat hiburan malam atau diskotek Golden Crown yang dikelolanya ditutup menyusul terungkapnya kasus peredaran narkotika beberapa waktu lalu.
Gugatan itu telah dilayangkan Thanos melalui kuasa hukumnya. Berdasarkan situs sipp.ptun-jakarta.go.id, gugatan itu didaftarkan sejak Senin, 16 Maret 2020 lalu dengan nomor perkara 57/G/2020/PTUN.JKT. Gugatan itu ditujukan kepada Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) DKI Jakarta.
Mereka menggugat Surat Keputusan Kepala DPMPTSP DKI Nomor 19 tahun 2020 tentang Pencabutan Tanda Daftar Usaha Pariwisata (TDUP) PT Mahkota Aman Sentosa tertanggal 7 Februari 2020. kornel