Bali, faktapers.id – Malang nasib Sutikno (30) asal Dusun Tegalpakis, RT 001 RW 003 Desa Kalibaru Wetan, Kecamatan Kalibaru, Kabupaten Banyuwangi, yang kini tinggal di sebuah kost di lingkungan Gaduh Kelurahan Abianbase, Kecamatan Mengwi. Baru tiba seminggu di Abianbase, dan melaksanakan isolasi mandiri selama 14 hari, kini Sutikno dimintai untuk rapid test kembali.
Sebelumnya, Sutikno sudah melengkapi surat keterangan hasil rapid test sebelum berangkat ke Bali. Namun, karena belum mulai bekerja dan bekal menipis, sehingga Sutikno tidak mampu membayar biaya rapid test seharga Rp 500.000 per satu orang. Sutikno pun pasrah dan bingung, pasalnya uang untuk membayar biaya rapid test tersebut bersama istrinya Rita Kurniasih (27) dengan total 1 juta rupiah,
Sutikno sudah tinggal di Bali hampir 5 tahun sejak tahun 2014. Pada waktu Lebaran kemarin saat situasi pandemi Covid-19, dirinya sempat pulang kampung bersama Istri dan anaknya Muhammad Riski (2) ke Banyuwangi. Setelah itu, awal Juni 2020, ia kembali ke Bali bersama keluarganya untuk bekerja dan sudah melengkapi persyaratan untuk datang ke Bali dan dinyatakan sah untuk lolos masuk ke Bali. Setibanya di Abianbase pada 4 Juni 2020, dirinya didatangi oleh lingkungan di sana untuk menanyakan surat-surat rapid test dan dianjurkan untuk karantina mandiri.
“Pas mau berangkat dari Banyuwangi, saya mendengar ada info bila datang ke Bali harus melengkapi surat-surat, melengkapi surat pada tanggal 2 Juni untuk surat jalan berpergian dan surat keterangan kerja, serta tanggal 3 Juni melengkapi surat keterangan hasil rapid test beserta hasil pemeriksaan laboratorium,” ungkap Sutikno kepada awak media Kamis, (11/6)
Lebih lanjut ia mengatakan, pada 4 Juni tiba di Pelabuhan Sri Tanjung Ketapang diperiksa oleh Satpol PP Provinsi Bali dan dinyatakan lengkap, sehingga diperbolehkan menyebrang ke Bali. Setelah lengkap dirinya tidak mendengar informasi kalau tiba di Bali di rapid test kembali.
“Sehingga bermodal surat ini saja kami sudah merasa cukup, apalagi tiba di Gilimanuk juga ada pemeriksaan surat tersebut dan juga di-thermogun, hasilnya rata rata 36 derajat sekian,” jelasnya.
Ia menerangkan, karena persyaratan sudah lengkap dan diharuskan untuk karantina mandiri selama 14 hari. Ia pun bersama istri dan anak melakukan karantina mandiri selama 14 hari, dan selama 14 hari dirinya diam dan tidak keluar dari kost .
“Kalau gak salah tanggal 6 atau tanggal 7 ke sini Pecalang sama Keliannya, disuruh rapid test lagi setelah 7 hari setelah keluar surat rapitrapid tes pertama, setelah itu saya kaget, bagaimana saya rapid tes, saya karantina mandiri tidak kerja selama 14 hari, di mana nyari uang segitu, terus dibilang biaya rapid test 500 ribu satu orang, jadi 2 orang saya dan istri. Dan juga saya denger teman saya dimintai rapid test harga 500 ribu juga,” terangnya.
Ia menuturkan, dengan tidak memiliki uang untuk membayar rapid test tersebut. Akhirnya Kepala Lingkungan setempat juga berusaha untuk mencarikan rapid test gratis di Puspem Badung. Sebelum di rapid test pada 10 Juni kemarin, akan dikasih surat pengantar untuk tes gratis di Puspem Badung.
“Sampai sekarang belum ada surat pengantar tersebut, dan tadi pagi Pecalang ke sini menanyakan surat keluarga KTP, KK itu aja, mau di bawa ke Kantor Lurah, ternyata tidak disetujui, infonya tidak disetujui rapid test gratis di Puspem Badung, dan Pecalangnya bilang mau rapid tes umum biaya sendiri atau pulang kampung,” tuturnya.
Dengan kejadian tersebut, ia merasa dibohongi oleh peraturan-peraturan yang diubah-ubah. Apalagi informasinya harus melengkapi rapid tes dan surat yang diminta sudah lengkap. Dan ternyata di sini ada aturan baru, yang belum ia ketahui. Kata ia, seharusnya ada pemberitahuan sebelum berangkat ke Bali oleh pihak terkait di Banyuwangi. Oleh karena itu, pihaknya merasa rugi ke Bali karena harus mengeluarkan biaya banyak lagi untuk datang ke Bali.
“Kalau misalnya ada rapid test gratis kita siap di-rapid test, kalau kami dipulangkan kan di-rapid test lagi untuk kembali ke Banyuwangi, apalagi saya tidak ada uang kan sama saja, dari mana saya dapat uang apalagi saya belum bekerja, sekarang kami sudah menjalankan karantina selama 7 hari, bekal pun menipis untuk kebutuhan sehari-hari di sini, apalagi masih 7 hari kami dikarantina disini,” bebernya.
Saat ditanya, mengapa anaknya tidak di-rapid test, ia pun menjawab bahwa sebelum berangkat ke Bali, ia ingin semuanya di-rapid test. Namun karena dari pihak rumah sakit di Banyuwangi mengatakan untuk anak di bawah lima tahun tidak perlu di-rapid test. Dengan alasan, anak masih dalam pemantauan orang tua.
“Saya sudah ngomong sama pihak rumah sakit bahwa anak saya mau pergi ke Bali, terus katanya tidak perlu, padahal di sana maunya dites sekalian, apalagi di Pelabuhan Ketapang, kata Satpol PP dari Bali bilangnya sih tidak menyarankan anak di bawah umur untuk di-rapid test, diperselisihkan yang penting orang tuanya sudah melengkapi surat-surat yang diminta,” jawabnya.
PLT Kepala Lingkungan Gaduh Kelurahan Abianbase Kecamatan Mengwi, Ketut Sudarmanta saat dikonfirmasi terkait hal itu mengatakan pihakny menegakan Pararem Desa Adat, dalam Pararem Pasal 14 menolak orang yang terpapar Covid-19, dan untuk di Jawa Timur itu sudah zona merah tua. Untuk itu, demi memberikan kenyamanan bagi masyarakat Abianbase, ia meminta untuk di-rapid test yang kedua.
“Kita punya pararem harus menolak semuanya dari daerah terpapar, bunyi pararem seperti itu, kalau kita menegakan pararem kita tolak, karena membawa surat lengkap, ada kebijakan kita tetap karantina, masalah dia kena biaya atau gratis kita tidak ikut serta di sana, kalau ada yang gratis kita akan usahakan, informasinya rapid tes untuk pendatang tidak ada di Puspem, hanya yang pergi keluar boleh di Puskesmas,” kata Sudarmanta.
Ia menjelaskan bahwa mereka pulang ke kampung ke Banyuwangi tidak melapor dan ujung-ujungnya datang membawa hasil rapid test. Sehingga pihaknya meminta untuk rapid test kedua, dan informasi yang didengar rapid test mandiri infonya bayar Rp 500.000, namun dirinya sampai saat ini belum tahu kebenarannya apakah benar bayar Rp 500.000 per orang.
“Dia pulang tidak melapor, ujung-ujungny datang bawa rapid tes, datang pun kita yang menyamperin ke sana. Saya tetap mencarikan solusi yang terbaik, diharapkan dari pemerintah desa ada rapid test gratis untuk para pendatang untuk tes lanjutan, sehingga tidak memberatkan yang bersangkutan,” jelasnya.
Setelah dilakukan koordinasi dengan pihak Dinas Kesehatan Satgas Covid-19, bila yang bersangkutan diterima di Desa dan ada isolasi, untuk tes kedua bisa dilakukan di Wantilan DPRD Badung.
“Jadi, 7 hari berlangsung isolasi, langsung di-rapid test, kalau dia reaktif akan dibawa ke hotel untuk dikarantina, bila negatif kembali ke desa untuk melanjutkan 7 hari isolasi,” ujarnya.
Ia pun mengakui, bahwa adanya simpang siur informasi dan juga banyak informasi bahwa warga luar Bali tidak melapor ke Kepala Lingkungan, sehingga hal itu menjadi atensi pihaknya di Lingkungan Gaduh Kelurahan Abianbase. Apalagi banyaknya transmisi lokal meningkat terus, ia pun berpendapat bahwa hasil rapid test pertama masih diragukan. Sehingga rapid test kedualah yang meyakinkan dan yang lebih mengetahui sedini mungkin adalah di-swab.
“Jadi kami akan buatkan surat pengantar, segera dibikinkan agar bisa rapid test gratis, hal ini saya berusaha berikan untuk memberikan pelayanan yang terbaik,” paparnya. (Ans)