Berebut Pancasila dan Komunisme

730
×

Berebut Pancasila dan Komunisme

Sebarkan artikel ini

Oleh: Mayjen TNI (Purn) Saurip Kadi*.

Faktapers.id -Hak inisiatif RUU HIP sungguh “Blessing In Disguise”. Bagaimana tidak, kalau realitanya semua pihak tak terkecuali yang selama ini terus berusaha keras  hendak menggantikan Pancasila, mendadak sontak menjadi kompak bersatu-padu dengan komponen bangsa lainnya menyuarakan bahwa Pancasila dalam keadaan bahaya atau terancam.

Indonesia Pernah Menerapkan Sistem Komunisme dan Terbukti GAGAL.

Sistem kenegaraan yang tertuang dalam UUD 1945 yang asli tidak dikenal lembaga Partai dan Pemilu. Padahal bukanlah demokrasi kalau tanpa ada Partai dan Pemilu. Begitu juga tentang GBHN yang  didalamnya memuat Rencana Pembangunan Jangka Panjang (25 tahun), jangka menengah atau sedang (10-15 tahun)  dan juga jangka pendek (5 tahun), hanya mungkin bisa diterapkan  pada negara yang partainya 1, sehingga tidak terjadi pergantian rezim yang beda ideology. Disisi lain, model GBHN juga mustahil bisa diterapkan dalam negara demokrasi, karena bisa saja yang tampil sebagai pemenang Pemilu bukanlah incumbent. Lantas bagaimana mungkin sebagai pemenang Pemilu harus menjalankan Rencana Pemangunan bikinan Rezim yang beda “ideology”. Padahal dalam negara demokrasi, program pemerintah adalah program yang ditawarkan dalam kampanye oleh Partai atau Capres pemenang Pemilu yang dikenal dengan istilah kontrak sosial.

Dan begitu pula dalam pengelolaan ekonomi, pada negara demokrasi prinsip dasarnya “Konglemrasi Swasta” dimana peran negara dibatasi sebagai regulator dan fasilitator (disamping sebagai pelindung yang lemah), sementara prinsip dasar dalam pengelolaan ekonomi pada negara komunis adalah “Konglomerasi Negara” dimana semua-semua diatur dan ditangani oleh negara melalui keberadaan BUMN disemua bidang usaha. Dengan demikian kalau saja kita mau jujur sesungguhnya sistem kenegaraan yang tertuang dalam UUD-1945 yang asli adalah model sistem kenegaraan komunis, bahkan dari struktur kenegaraannya diluar lembaga DPA sama seperti struktur kenegaraan yang tertuang  dalam UUD USSR.

Maka menjadi aneh kalau dalam “gerakan” penolakan RUU HIP malah menggunakan issue “Bahaya Latent Komunisme” sebagai issue  yang sudah basi dan sama sekali tidak relevan. Dan lebih lucu lagi ketika sejumlah pihak malah menggulirkan wacana untuk kembali ke UUD 1945 yang asli sambil teriak “AWAS BAHAYA LATENT KOMUNISME”, sepertinya mereka tidak tahu bahwa norma dasar serta madzab dan bahkan struktur sistem kenegaraan yang tertuang UUD-1945 yang asli diluar lembaga DPA adalah sama seperti sistem negara komunis dalam hal ini USSR yang dalam prakteknya juga terbukti GAGAL, bahkan diujung kekuasaannya baik Bung Karno maupun Suharto negara dilanda krisis nasional dan keduanya lengser dari kekuasaannya secara tragis.

Pancasila Belum Mempunyai “TOOL” Baku Tata Kelola Negara.

Fakta sejarah juga mencatat bahwa kesepakatan Pancasila sebagai Dasar Negara, Groundslag, welstanchaung atau filsafat dasar dalam berbangsa dan bernegara atau apapun istilahnya oleh BPUPKI dan PPKI belum sempat dijabarkan secara utuh dan menyeluruh kedalam nilai-nilai operasional yang tertuang dalam batang tubuh UUD. Konsep dasar sebagai gagasan memang sudah disampaikan yang intinya sebagai  konsep jalan tengah,  bukan “model ini” dan juga bukan “model itu”, namun dalam realitanya juga belum sempat dirumuskan dan apalagi dituangkan dalam batang tubuh UUD 1945.

Sementara itu Pancasila itu sendiri dalam kedudukannya sebagai “ideology” juga belum sempurna, karena Pancasila dalam kaitan ber negara belum mempunyai “TOOL” baku yang bisa dijamin bisa digunakan untuk mewujudkan cita-cita luhur yang dikandungnya.

Maka dapat dipahami kalau Rezim berkuasa dimasa lalu terlebih sewaktu Orde Baru, banyak mengadopsi begitu saja nilai-nilai operasional yang berasal dari paham diluar Pancasila dan atau baru sebatas gagasan elit, yang kemudian dijadikan pilihan model yang secara yuridis formal dilegalkan melalui TAP MPR dan kemudian dijabarkan dalam Undang-Undang yang kesemuanya distempel dengan nama Pancasila atau ala Indonesia.

Pentingnya Nilai-Nilai Pancasila Dijabarkan Dalam Bentuk Yuridis Formal.

Sayang sekali dalam 4 kali amandmen UUD 1945 dilakukan tanpa didahului dengan perubahan mindset dan platform dari negara otoriter ke negara demokrasi, tapi langsung menukik pada perubahan pasal-pasal. Maka yang terjadi, kini terjadi kesemrawutan cetak biru sistem kenegaraan. Dalam sistem pemerintahan umpamanya, pilihan jatuh pada model presidensial, dimana rakyat melalui Pemilu langsung memilih Pemimpin (Presiden) dan program yang ditawarkan dalam kampanye Pemilu. Tapi dalam pilihan model DPR tidak dirumuskan dengan tegas untuk menggunakan model DPR pada sistem presidensial. Dan masih banyak lagi kesemrawutan sistem dalam pengelolaan bidang kehidupan lainnya. Akhirnya muncul plesetan sebagai negara bukan-bukan, bukan demokrasi tapi bukan otoriter, bukan parlementer tapi bukan presidensial, bukan negara kapitalis tapi juga bukan negara komunis. Yang pasti akhirnya melahirkan proses saling menjegal dan setidaknya mereduksi peran sesama lembaga demokrasi.

Beruntung Presiden JKW sejak awal pemerintahannya secara pasti berani melakukan “turming point” dengan pemihakan yang jelas dan nyata kepada rakyat banyak. Tanpa banyak membuang banyak waktu, terus menyiapkan pranata sosial untuk menyongsong tuntutan jaman. Sehingga kelemahan yang ada pada sistem kenegaraan, menjadi tereliminasi oleh dinamika politik yang terjadi.

Dan agar dalam praktek kenegaraan  kedepan tidak kembali mengulangi kesalahan yang sama dalam penerapan Pancasila, maka semestinya nilai-nilai Pancasila terlebih dahulu kita jabarkan dalam bentuk hukum dasar yang tertuang dalam Pasal-Pasal UUD, baru turunannya dalam bentuk UU. Oleh karenanya maka segenap elit bangsa semestinya mendorong agar Amandemen UUD 1945 yang ke 5 dijadikan program nasional dalam waktu sesegera mungkin. Melalui Amandemen ke 5, kelak kita bisa memformat ulang tentang sistem kenegaraan yang sepenuhnya ber “DNA” Pancasila.

Dan khusus untuk Pengusung RUU HIP disarankan untuk tidak sekedar mengganti judul, tapi isi RUU juga perlu direvisi agar tidak memasuki materi yang menjadi wilayah yang semestinya menjadi amanat batang tubuh UUD dengan statusnya sebagai hukum dasar dalam tata kelola negara.

*Mantan Anggota Fraksi ABRI DPR RI.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *