“Kemitraan antara pemerintah, swasta, serikat pekerja, auditor supply chain, agen perekrut dan lainnya sangatlah penting. Para aktor ini tidak hanya dapat berperan untuk menerapkan praktik-praktik yang dapat mengurangi risiko terhadap eksploitasi dan perdagangan orang akan tetapi mereka juga memiliki posisi strategis tersendiri. Selain itu, di tengah pandemi Covid-19 ini komunitas anti perdagangan orang akan menghadapi tantangan baru sehingga perlu untuk terus berevolusi, beradaptasi, dan menemukan cara-cara inovatif untuk mengidentifikasi tren dan kerentanan TPPO di tengah masa pandemi. Untuk itu, IOM akan terus berkomitmen untuk memerangi perdagangan orang bersama dengan pemerintah Indonesia, organisasi masyarakat sipil, kelompok berbasis kepercayaan, sektor privat, komunitas internasional, dan masyarakat luas lainnya,” ungkap Louis.
Deputi Bidang Koordinasi Perlindungan Perempuan Dan Anak Kemenko PMK, Ghafur Dharmaputra mengatakan untuk menghapuskan dan mengakhiri segala bentuk TPPO memerlukan sinergi dari seluruh pihak utamanya pemerintah daerah dan pemerintah pusat dalam hal kebijakan. “Situasi TPPO di Indonesia saat ini mencemaskan. Oleh sebab itu, pencegahan dan penanganan TPPO harus terus dioptimalkan dengan sinergi yang lebih kuat lagi. Kita harus terus bangun dan pupuk semangat untuk memanusiakan manusia sesuai dengan tujuan dari pembangunan berkelanjutan (SDGs). Saat ini kami Kemenko PMK tengah menyiapkan dan memperbaiki lagi peranan dan berencana untuk menambahkan kementerian/lembaga terkait ke dalam Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (GT PP-TPPO). Hal ini dilakukan dalam rangka mengoptimalkan lagi fungsi, tugas, dan peranan GT PP-TPPO dalam berbagai aspek termasuk aspek hukum dan keamanan,” ujar Ghafur.
Sementara itu, Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Antonius PS Wibowo mengungkapkan data jumlah korban terlindungi Tindak Pidana Perdagangan Orang oleh LPSK pada 2019 sebanyak 318 korban dan per juli 2020 sebanyak 227 korban.
“Pada masa pandemi ini, kami terus dan tetap memberikan pelayanan perlindungan korban. Namun, pada masa pandemi ini kami menghadapi tantangan dan hambatan yang berbeda dimana kami harus tetap melayani korban dengan tetap memperhatikan dan mematuhi protokol kesehatan Covid-19, sehingga beberapa kasus mengalami keterlambatan penanganan. TPPO sendiri menempati posisi empat besar berdasarkan jumlah perlindungan yang diberikan oleh LPSK. Kasus ini hanya lebih disedikit di bawah kekerasan seksual anak, terorisme, dan pelanggaran HAM. Proses perlindungan yang diberikan oleh LPSK biasanya berupa beberapa program, di antaranya pemulihan medis, hak prosedural perlindungan hukum, pemulihan psikologis, pengajuan restitusi, dan hak rehabilitasi psikososial. Dalam pelaksanaan pemenuhan hak korban TPPO tentunya tidak terlepas dari peran dan sinergi berbagai pihak terkait terutama IOM,” ujar Antonius.