Kemen PPPA Dorong Pemerintah Daerah Tempatkan Isu Perkawinan Anak Sebagai Isu Prioritas

294
×

Kemen PPPA Dorong Pemerintah Daerah Tempatkan Isu Perkawinan Anak Sebagai Isu Prioritas

Sebarkan artikel ini

Jakarta, faktapers.id – Pada 2019 terdapat kenaikan jumlah provinsi dengan angka perkawinan anak di atas rata-rata nasional, dari yang semula 20 provinsi di tahun 2018 bertambah menjadi 22 provinsi. Kenaikan jumlah kasus perkawinan anak ini menjadi tantangan berat bagi pemerintah sehingga pada 31 Januari 2020 Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menginisiasi penandatanganan pakta integritas dan komitmen 20 pimpinan daerah untuk melakukan pencegahan perkawinan anak. Penandatangan pakta integritas dilakukan sebagai bentuk tindaklanjut dari Gerakan Bersama Pencegahan Perkawinan Anak (GEBER PPA) yang bertujuan memperkuat komitmen 20 provinsi dengan angka perkawinan anak di atas rata-rata nasional pada 2018. Hal ini dilaksanakan untuk mempercepat pencegahan dan menurunkan angka perkawinan anak di daerah, baik melalui kebijakan, rencana aksi daerah, program prioritas daerah, anggaran daerah, serta sinergi dengan mitra pembangunan lainnya.

Pasca Penandatanganan Pakta Integritas tersebut selanjutnya Kemen PPPA melakukan evaluasi untuk mengetahui dan memastikan sejauhmana upaya seluruh provinsi dan kabupaten/kota dalam mencegah dan menurunkan angka perkawinan anak di wilayahnya.

“Kami memberi apresiasi setingginya kepada seluruh pimpinan daerah atas berbagai upaya yang sudah dilakukan, tapi kami juga meminta khususnya kepada seluruh Kepala Dinas PPPA di Indonesia untuk meningkatkan upaya pencegahan perkawinan anak. Mengingat pencegahan perkawinan anak, merupakan salah satu dari 5 (lima) arahan Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo. Untuk itu, daerah juga harus menempatkan isu perkawinan anak sebagai prioritas di wilayah masing-masing,” ungkap Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Kemen PPPA, Lenny N. Rosalin dalam Rapat Koordinasi Pencegahan Perkawinan Anak Pasca Penandatanganan Pakta Integritas yang dilaksanakan secara daring, Rabu (5/8/2020).

Lenny menambahkan bahwa seluruh pihak bisa melakukan berbagai upaya pencegahan perkawinan anak dengan mengacu pada data yang ada. Lenny juga meminta kepada para pimpinan daerah provinsi dengan angka perkawinan anak yang tinggi untuk segera melakukan rapat koordinasi internal melibatkan seluruh pimpinan daerah kabupaten/kota. “Pastikan langkah konkret apa yang bisa dilakukan bersama mulai dari tingkat provinsi, kabupaten/kota hingga desa/kelurahan, seperti memperkuat pengasuhan yang baik, menggandeng lembaga masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, tokoh masyarakat, pengadilan terkait dispensasi kawin, serta pihak lainnya untuk bersinergi menurunkan angka perkawinan anak,” jelas Lenny.

Upaya koordinasi dan advokasi untuk meningkatkan kesadaran seluruh pihak tentang bahaya dan pentingnya menurunkan angka perkawinan anak juga sangat penting untuk dilakukan. “Upaya ini harus kita tingkatkan, terutama di wilayah zona merah dengan angka perkawinan anak yang tinggi. Kita memiliki target bersama pada 2024 nanti, agar angka perkawinan anak ini bisa turun, semua provinsi harus bisa menurunkan angka perkawinan anak menjadi 8,74%, sebagaimana yang telah ditargetkan dalam RPJMN 2020-2024. Meskipun secara persentase kecil, namun secara absolut angka ini sangatlah besar. Hal ini harus menjadi prioritas provinsi maupun kabupaten/kota. Mari bersinergi bersama mengimplementasikan upaya pencegahan perkawinan anak sekaligus mewujudkan Kabupaten/Kota Layak Anak menuju Indonesia Layak Anak (IDOLA) tahun 2030” tegas Lenny.

Pada rangkaian rapat koordinasi ini, Direktur Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda, dan Olahraga, Kementerian PPN/Bappenas, Woro Srihastuti Sulistyaningrum mengungkapkan pada 2019, terdapat 18 provinsi yang mengalami peningkatan persentase perkawinan anak, 11 diantaranya merupakan provinsi dengan angka di atas nasional pada 2018 (Susenas, 2018 dan 2019).

Woro menambahkan pentingnya implementasi Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak (Stranas PPA) dengan memastikan anak memiliki resiliensi dan mampu menjadi agen perubahan, menguatkan peran orang tua, keluarga, organisasi sosial/kemasyarakatan, sekolah, dan pesantren, menjamin anak mendapat layanan dasar komprehensif untuk kesejahteraan anak, menjamin pelaksanaan dan penegakan regulasi dan meningkatkan kapasitas dan optimalisasi tata kelola kelembagaan, serta meningkatkan sinergi dan konvergensi upaya pencegahan perkawinan anak.

Pada kesempatan yang sama, hadir pula beberapa perwakilan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perindungan Anak (PPPA) dari 4 (empat) provinsi yang memiliki angka perkawinan anak di atas rata-rata angka nasional pada 2018. Di antaranya yaitu Provinsi Sulawesi Selatan, Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, dan Jawa Timur yang menyampaikan beberapa upaya tindak lanjut untuk menurunkan angka perkawinan anak di daerahnya pasca penandatanganan Pakta Integritas pada Januari lalu.

Kepala Bidang Dinas PPPA Provinsi Sulawesi Selatan, Nur Anti menyampaikan bahwa Sulawesi Selatan telah menjalankan program prioritas daerah yaitu menurunkan angka putus sekolah melalui pendidikan menengah, pendidikan karakter sekolah sehat, serta program pendidikan perempuan dan anak. Selain itu, meningkatkan angka pekerja perempuan, serta menyusun anggaran khusus untuk perlindungan anak. “Kampanye pencegahan perkawinan anak juga terus kami lakukan dengan melibatkan para aktivis Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM), Pusat Pembelajaran Keluarga (PUSPAGA), dan Forum Anak sebagai pelopor dan pelapor (2P),” ungkap Nur Anti.

Sementara itu Kepala Dinas PPPA Provinsi Jawa Barat, Poppy Sophia Bakur menyampaikan pada 2019 ada sebanyak 21.499 kasus perkawinan anak di Provinsi Jawa Barat. Menindaklanjuti hal ini, pemerintah provinsi Jawa Barat melalui Gubernur telah membuat instruksi khusus kepada perangkat daerah untuk menurunkan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak, salah satunya yaitu menurunkan angka perkawinan anak dengan target di bawah 16.000.

“Kami juga telah mengalokasikan anggaran pembangunan untuk pencegahan perkawinan anak dalam rencana pembangunan daerah lima tahun ke depan, serta bersinergi dengan BKKBN melakukan sosialisasi penguatan kader secara virtual kepada 719 tenaga penggerak desa yang ada di 9 (sembilan) kabupaten/kota. Kami juga sedang menggodok Rancangan Peraturan Daerah terkait Penyelenggaraan Perlindungan Anak,” jelas Poppy.

Plt. Kepala Dinas PPPA Provinsi Nusa Tenggara Barat, Dede Suhartini yang ikut hadir dalam forum ini juga menjelaskan bahwa pemerintah provinsi NTB fokus menekan perkawinan anak dengan bersinergi bersama organisasi perangkat daerah (OPD) lainnya melalui program unggulan daerah yaitu melakukan revitalisasi posyandu, mengingat tingginya angka stunting dan angka perkawinan anak di Provinsi NTB. “Di masa pandemi ini, sejak Februari-Juli 2020 kami juga melakukan evaluasi monitoring kabupaten/kota layak anak (KLA) demi menjalankan upaya pakta integritas serta mewujudkan KLA, seperti bersinergi dengan PATBM menciptakan sekolah, pesantren dan lingkungan ramah anak, sekolah perempuan, kami bergerak tentunya dengan memperhatikan dan menerapkan protokol kesehatan,” terang Dede.

Pada akhir acara, Kepala Dinas PPPA Provinsi Jawa Timur, Andriyanto mengungkapkan berbagai upaya pemerintah Provinsi Jawa Timur untuk menurunkan angka perkawinan anak di Jawa Timur yaitu melakukan kerjasama melalui fasilitasi OGP (open government partnership) secara maksimal dengan NGO dan mitra kerja lainnya, yang dilakuka di Kabupaten Lumajang dan Pacitan dengan penyusunan dashboard penghapusan perkawinan anak 2019-2020. “Hal ini dapat menurunkan angka perkawinan anak. Intervensi yang kami lakukan tentunya spesifik sesuai kondisi masing-masing daerah. Terkait dispensasi perkawinan kami juga bekerjasama dengan pengadilan agama Provinsi Jawa Timur untuk memberikan edukasi melalui brosur terkait pentingnya kesehatan reproduksi dan pencegahan stunting kepada pasangan yang akan menikah,” tutup Andriyanto. Herry

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *