Headline

Menumbuhkan Karakter Melalui Pembelajaran Sains

×

Menumbuhkan Karakter Melalui Pembelajaran Sains

Sebarkan artikel ini

Oleh Putu Sudibawa, Kepala SMAN 1 Rendang.

Karangasem – Bali, Faktapers.id – Dalam pembelajaran sains, setiap penggalian konsep-konsep sains mesti disertai dengan ketekunan, ketelitian, ketabahan, serta perlu pengorbanan. Sejalan dengan penggalian pembelajaran sains bernuansa afektif nilai, kita dapat bercermin kepada para ilmuwan yang dengan sabar, penuh kejujuran dan konsistensi dalam menggali konsep sains.

Dalam proses transmisi pembelajaran sains dan pengembangan sains di masyarakat, banyak mengikuti alur berpikir masyarakat Barat yang bersifat sekuler. Proses pembelajaran sains mengandung unsur-unsur atau istilah-istilah yang dapat mengikis dan mereduksi keimanan. Pemberian penghargaan yang berlebihan kepada ilmuwan dengan menamai ilmu yang ditemukan seperti hukum, dalil, teorema, rumus dll., dengan nama para ahli yang menggalinya. Hal ini menimbulkan kesan para ahli itulah sebagai “pencipta ilmu” itu. Cara-cara seperti ini dikwatirkan dapat mengikis kepercayaan terhadap keagungan dan kemahakuasaan Tuhan, Sangkan Paraning Dumadi.

Kita berkeyakinan, Sangkan Paraning Dumadi telah menciptakan ilmu-ilmu itu, para ahlilah menggunakan kepekaan nalar dan ketekunan untuk menggali ilmu-ilmu itu demi kesejahteraan umat manusia. Istilah lain yang dikhawatirkan dapat mengkis rasa keimanan adalah penggunaan istilah “penemu”. Istilah ini seolah-olah memberikan kesan bahwa ilmu itu sebelumnya tidak ada. Orang beranggapan ketika ilmuwan telah dapat menggali dan menemukan sesuatu, maka ilmu ada sejak para ahli mulai memikirkan atau membuktikannya. Padahal kita berkeyakinan seluruh ilmu dan keteraturan ini telah diciptakan dan dipelihara oleh Sangkan Paraning Dumadi.

Contoh sederhana yang dapat diangkat disini, bagaimana Newton mulai memikirkan keberadaan gaya tarik bumi ketika dia mulai mengamati sebuah apel yang jatuh ke bumi. Dari pengamatan ini, Newton dikatakan sebagai penemu gaya gravitasi bumi.

Pertanyaan, benarkah gaya tarik bumi ada sejak Newton mulai memikirkannya?. Tentu tidak bukan?. Bukankah gaya tarik bumi sudah ada sejak bumi ini diciptakan?. Maka dalam proses pembelajaran sains akan lebih bijaksana kalau Newton dikatakan sebagai penggali ilmu tentang gaya tarik bumi, dan bukan sebagai penemu, sebab kata penggali mengidikasikan bahwa ilmu itu memang sudah ada, tetapi belum dipelajari oleh kita.

Hal lain yang dapat dilakukan untuk meningkatkan keimanan dalam proses pembelajaran sains adalah dengan menggali ajaran-ajaran agama dan nilai-nilai tradisi yang berhubungan dengan sains. Banyak ajaran-ajaran agama dan nilai-nilai tradisi yang erat hubungannya dengan perkembangan sains. Hal ini dapat dikaitkan dengan keberhasilan Kekule dalam menemukan rumus benzena yang mengagumkan itu.

Memperkenalkan model siklus belajar berdasarkan konsep Tripramana dapat juga disebut sebagai mempertebal rasa keimanan dalam proses pembelajaran sains. Salah satu asumsi model siklus belajar berdasarkan konsep Tripramana seperti apa yang diusulkan oleh Wayan Subagia merupakan cara belajar yang logis yang dapat dibuktikan secara ilmiah sma dengan cara-cara yang digunakan dalam penyelidikan dengan metode ilmiah. Hal ini disebabkan rangkaian kegiatan belajar yang tercakup didalamnya mempunyai urutan yang logis. Tripramana bukan hanya tradisi atau mitos yang diterima dengan kepercayaan, melainkan cara ilmiah yang dapat dibuktikan secara berulang. Anumana Pramana, menunjukkan perolehan pengetahuan melalui suatu analisis terhadap fakta-fakta. Cara Praktyaksa Pramana, perolehan pengetahuan dengan pengamatan langsung melelui panca indra, dan Sabda Pramana, menunjukkan pentingnya pengetahuan awal dalam pembelajaran yang selanjutnya dapat diperoleh dari sumber-sumber belajar yang dapat dipercaya.

Ketekunan dan ketelatenan ini tergambar, ketika kita memandang bahwa atom sebagai sesuatu yang tidak dapat dibagi-bagi lagi. Dengan kata lain, atom dianggap sebagai unsur yang terkecil yang ada di alam ini. Tetapi kemudian tatkala manusia mengembangkan daya nalarnya, atom itu tidak lagi dinggap sebagai partikel terkecil, tetapi atom-atom terdiri dari elektron-elektron yang menempati tingkat-tingkat energi tertentu (terkuantisasi) dan inti atom yang terdiri atas proton dan netron. Untuk sampai pada “penggalian” konsep yang demikian rumit ini, diperlukan waktu yang cukup lama dan diperlukan “penggalian-penggalian” dari banyak ilmuwan sains, yaitu dari model atom Democritus, Dalton, Thomson, Rutherford, sampai model atom Bohr. Sampai disini Bohr, mampu menunjukkan adanya keteraturan dalam sebuah atom.

Tetapi partikel yang dianggap terkecil sampai saat ini adalah elektron. Tatkala nalar dan pikiran itu terus digunakan dan dikembangkan untuk mempelajari keteraturan alam, telah diketahui bahwa elektron tidak lagi merupakan partikel yang terkecil, sebab di dalam sebuah elektron itu sendiri masih ditemukan beberapa buah partikel lain yang lebih kecil yang disebut “quark”.

Keteraturan lain yang dapat terungkap disini adalah keteratutan sistem tata surya kita. Meski diperlukan waktu yang lama, akhirnya kita mampu memahami bahwa matahari merupakan pusat tata surya kita, bukan sebaliknya seperti yang tampak oleh kita matahari berputar mengelilingi bumi. Meskipun secara kasat mata, susunan tata surya kita sangat kompleks dan di luar jangkauan mata kita, tetapi sistem tata surya ini sangat teratur, bahkan saking teraturnya susunan tata surya dalam orbitnya tidak pernah berbenturan, kecuali pada hari kiamat nanti.

Ketika kita sedang menengadah ke atas pada malam hari yang cerah, maka akan nampak oleh kita milyaran bahkan triliyunan bintang yang bertebaran bagai tak beraturan. Tetapi sesungguhnya bintang-bintang amat beraturan dapat dikelompokkan ke dalam beberapa galaksi. Lalu siapakah yang menciptakan keteraturan ini?. Siapakah yang memelihara keteraturan ini?. Jawabannya hanya satu, Tuhan Yang Maha Esa, Hyang Widhi Sangkan Paraning Dumadi. Jadi diharapkan dengan menyadari keraturan yang ada di alam semesta ini diharapkan kita mampu melihat tanda-tanda keagungan dan kemahakuasaan Hyang Widhi Sangkan Paraning Dumadi, dan akhirnya dapat meningkatkan keimanan kita terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Orientasi pembelajaran sains seperti ini, diharapkan secara kontinyu diimplentasikan dalam setiap konteks proses pembelajaran. Orientasi proses pembelajaran sains bernuansa afektif nilai, disinyalir dapat menjawab kekwatiran terhadap proses sekulerisasi dalam pembelajaran sains. Kekwatiran ini muncul, karena disadari bahwa dalam proses pembelajaran sains pendidik kurang menyertai nilai-nilai agama, sehingga terkesan proses pembelajaran sains berlangsung secara “value free”. Proses pembelajaran sains yang “value free” dikawatirkan akan menggiring pebelajar pada pemikiran sekuler. Fenomena ini muncul ditengarai penerapan paradigma sains modern, oleh karenanya titik fokus kritis terhadap sains modern berpusat pada konsepsi dasar, yakni telah memasukkan sikap fundamentalistik ke penalaran. Gejala di atas mengakibatkan lembaga-lembaga sains telah merosot menjadi sebuah alat reduksi yang bekerja di batas-batas sistem epistemologi yang amat sempit.

Pembelajaran sains yang bernuansa afektif nilai diharapkan dapat keluar dari paradigma sains modern tersebut. Kalau orientasi proses pembelajaran sains tidak diberi perimbangan nilai afektif nilai tradisi dan agama, dikwatirkan akan memberi indikasi cacat kronik “infeksi luka dalam pembusukkan”. Dan kalau tidak segera dilakukan “bedah pencangkokan” pada akan terjadi kerusakan menyeluruh pada jaringan supersensitifitas dan dapat meracuni seluruh kehidupan dan kedamaian di muka bumi. Usaha ini diharapkan mampu menjelma dan menjadikan proses pembelajaran sains mampu mensintesa “begawan akademis” untuk memberikan solusi moral dalam kultur kosmogoni negara bangsa, terbenam dalam menara gading, tergila-gila dengan keruwetan dan kekompleksan penurunan rumus-rumus, puas dengan ranah spesialis, kerdil dan dangkal nalar bathiniah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *