Denpasar, Faktapers.id – Bali. Faktapers.id – Babak baru sidang lanjutan sengketa lahan antara almarhum Frans Bambang Siswanto (Frans BS) dengan I Made Sumantra selaku tergugat atau penggugat rekonvensi dan PT. Mulia Graha Tata Lestari (Pengelola dan Pemilik Hotel Bali Mulia) selaku penggugat intervensi kembali di gelar di Pengadilan Negeri Denpasar, Bali, Senin (7/9).
Sidang dipimpin Ketua Majelis hakim, I Dewa Made Budi Watsara, S.H.dengan Nomor Perkara 414/Pdt.G/2019/PN Dps tertanggal 22 April 2019. Dalam sidang penggugat intervensi dalam hal ini Hotel Mulia menghadirkan saksi fakta dari Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kanwil Bali dan saksi ahli.
Adanya pemeriksaan saksi fakta dan saksi ahli memberikan keterangan saling terkait. Dengan kedudukan perolehan hak dari pihak Hotel Mulia sebagai pihak penggugat intervensi. Dimana terungkap, bawah tanah saat ini berdiri bangunan Hotel Mulia telah diperoleh sesuai mekanisme.
Dijelaskan, I Wayan Adimawan, SH, MH selaku kuasa hukum I Made Sumantra bahwa kami selaku tergugat yang sudah melepas SHM 707 atas nama Made Sumantra tahun 1996 berdasarkan akte pelepasan Hak No 77 Tahun 1996 di Notaris Priyatno kepada PT Mulia Graha Tata Lestari (pemilik Hotel Mulia Bali Resort,red).
Proses perjalanannya dikatakan Adimawan tentu pertama ada peninjauan. Kedua ada pengecekan data fisik dan lainya. Menurut pengacara ini sebagaimana Peraturan Pemerintah (PP) No 10 Tahun 1961, semua beres. Dan itu juga diungkapkannya dalam penyampaian saksi fakta selaku orang BPN sesuai dengan warkah saat persidangan.
“Menyoal sertifikat tanah tergugat Made Sumantra yang dinyatakan hilang, jelas bahwa sudah balik kembali dengan adanya perjanjian Kemufakatan tanggal 5 Tahun 1993. Perjanjian kemufakatan ini adalah satu bentuk perjanjian dan menurut ahli berdiri setara sehingga ketika hak dan kewajiban itu sudah selesai dinilai menjadi perjumpaan hutang,” terang Adimawan.
Menurutnya, perjumpaan hutang itu ketika seseorang memiliki suatu hutang atau piutang apakah bisa di kompensasi? Bisa menurut ahli. Kompensasi ini lah bentuk dari penilaian terhadap suatu barang . Disitu bahwa suatu perjanjian yang dibuat dengan sadar. Benar para pihak kemudian menujuk orang-orang, itu adalah perjanjian yang sah secara hukum dan melekat, dan bila melekat berdasarkan Undang-Undang, berdasarkan pendapat ahli, Hakim pun tidak bisa membatalkan perjanjian kemufakatan tanggal 5 Tahun 1993.
“Saya dengan anda membuat perjanjian, perjanjian itu ketika benar sebagai mana perdata 1320 sepakat dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang hakim sendiri pun tidak bisa membatalkan dalam perjanjian di maksud, tetapi dalam hal ini, pihak I Made Sumantra selaku tergugat sama sekali tidak mendapatkan salinan, padahal di situ terang dan jelas, perjanjian dibuat dalam rangkap tiga sehingga seharusnya masing-masing pihak dapat,” ungkap Adimawan.
Adimawan menegaskan, bahwa perjanjian kemufakatan itu sah dan mengikat para pihak kemudian tanah Eks Nyoman Endang yang pernah dibeli setengah oleh Frans BS, itu sudah selesai sudah final dalam perjanjian kemufakatan tanggal 5 Tahun 1993.
“Karena ada perjumpaan hutang dan sudah di potong sebagai kompensasi pengembalian dalam perjanjian kesepakatan itu, sehingga tahun 1996 pak Made berhak untuk melepaskan ke pihak lain dan terbukti secara nyata bahwa selama puluhan tahun pihak Pak Frans BS tidak pernah mempermasalahkan.” Tegasnya.
Persoalannya, tegas Adimawan, setelah 25 tahun lahan dikuasai kliennya, kemudian muncul Frans BS melaporkan kliennya ke polisi dengan tuduhan telah memberikan keterangan palsu. “Saudara penggugat Frans mengadukan klien saya melakukan perbuatan melawan hukum dan klien saya divonis 6 tahun penjara karena melakukan diduga pemalsuan akta dokumen,” katanya.
Wayan menjelaskan bahwa berdasarkan PP Nomor 61, seharusnya mendengarkan semua pihak yang terkait. “Klien saya menjual tahun 1996 melepas sebelumnya sudah ada perjanjian pemufakatan sudah ada perjanjian untuk menyelesaikan segala hal untuk menuntaskan perjanjian mereka,” tutupnya.*/Ans