Jakarta, faktapers.id – Kasus kekerasan terhadap anak, baik fisik maupun seksual dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) hingga kini masih terus terjadi. Ironinya, pelaku kekerasan berasal dari keluarga anak itu sendiri. Di sinilah peran Pusat Pembelajaran Keluarga (PUSPAGA) sebagai layanan preventif, promotif, dan rujukan bagi para korban kekerasan yang membutuhkan perlindungan cepat dan optimal.
Dalam acara Bimbingan Teknis (Bimtek) PUSPAGA dengan tema Perlindungan Saksi dan Korban bagi para psikolog dan konselor dari 143 PUSPAGA yang dilaksanakan secara daring, Asisten Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak atas Pengasuhan Keluarga dan Lingkungan, Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Kemen PPPA, Rohika Kuniadi Sari menjelaskan kehadiran PUSPAGA tidak hanya sebagai layanan preventif dan promotif, memberikan pendampingan dalam pengasuhan, tetapi juga diharapkan memberikan layanan rujukan bagi para korban kekerasan yang membutuhkan perlindungan dengan cepat dan optimal.
“Para psikolog dan konselor harus bisa memberikan pelayanan optimal dan menyiapkan hal-hal yang harus dilakukan saat memberikan layanan terjadap korban kekerasan yang melapor. Saat ada korban maupun pelaku kekerasan yang masih berusia anak, mereka adalah korban dari kualitas pengasuhan keluarga yang tidak berjalan optimal. Di sinilah PUSPAGA berperan penting untuk mendorong kualitas pengasuhan tersebut. Saat korban ini datang melapor, PUSPAGA harus menindaklanjutinya dengan merujuk dan memindahkan penanganan kasus kepada pihak yang berwenang, seperti Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) dan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) sebagai pemberi layanan pendampingan bagi para korban kekerasan,” ungkap Rohika.
Menurut Rohika, layanan PUSPAGA, P2TP2A, UPTD PPA, dan LPSK memiliki tugas dan fungsi yang saling beririsan, namun PUSPAGA tetap memprioritaskan kewenangan pengasuhan sesuai amanat peraturan yang ada. Para psikolog dan konselor juga harus terus mengembangkan kompetensi dalam koridor pengasuhan agar keluarga mampu mengasuh, memelihara, mendidik, dan membangun karakter anak sebagai generasi emas bangsa di masa depan.
“Meskipun PUSPAGA hanya memberikan layanan rujukan, namun melalui acara ini, para psikolog dan konselor diharapkan mendapat pengetahuan terkait prosedur dalam memberikan perlindungan bagi saksi dan korban dengan baik, terutama untuk meningkatkan kualitas pengasuhan bagi anak. Kami mengucapkan terima kasih kepada LPSK khususnya Ibu Livia yang sudah mendampingi PUSPAGA sejak awal dibentuk pada 2016 hingga saat ini yang sudah menghasilkan 143 PUSPAGA di Indonesia,” ujar Rohika.
Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Livia Istania mengungkapkan berdasarkan hasil laporan kasus yang diterima LPSK, kasus kekerasan terhadap anak, baik fisik maupun seksual dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menjadi kasus yang mendominasi. “Mirisnya, banyak pelaku kekerasan seksual yang merupakan anggota keluarga anak itu sendiri, seperti ayah kandung, ayah tiri, paman, kakek, kakak, dan lain-lain. Bahkan guru dan teman sebaya di sekolah juga ikut menjadi pelaku kekerasan terhadap anak. Hal ini menunjukkan banyak orangtua dan guru yang masih belum mengasuh anak dengan baik, bahkan tega melakukan kekerasan di lingkungan keluarga dan sekolah,” terang Livia.
Menindaklanjuti persoalan tersebut, Livia menegaskan pentingnya peran para psikolog dan konselor PUSPAGA untuk menjangkau dan melakukan psikoedukasi di lingkungan keluarga dan sekolah, serta memperkuat koordinasi dengan P2TP2A atau UPTD PPA dalam memberikan pelayanan. “Saat ini, sudah ada 143 PUSPAGA yang memberikan pelayanan dengan 58 tenaga psikolog dan 276 sarjana psikolog juga sarjana lainnya. Hal ini merupakan langkah luar biasa untuk meningkatkan kualitas keluarga di seluruh Indonesia. Saya mengajak seluruh masyarakat untuk tidak ragu melaporkan saat melihat kekerasan terjadi terhadap anak. Jangan takut untuk memberikan kesaksian. Kami siap memberikan perlindungan bagi saksi dan korban dalam proses peradilan pidana. Jika PUSPAGA ingin merujuk proses perlindungan saksi dan korban ke LPSK, permohonan perlindungan dapat diakses pada hotline 148, dengan pelayanan gratis,” ungkap Livia.
Lebih lanjut Livia menyampaikan pentingnya peran psikolog untuk memberikan rehabilitasi atau pemulihan psikologis bagi para korban kekerasan seksual, mengingat peluang korban akan menjadi pelaku kekerasan seksual nantinya cukup tinggi. Untuk hal-hal terkait hukum, sangat dibutuhkan psikolog yang memiliki surat izin praktik dan persyaratan lainnya. Hal ini berdampak luar biasa karena jika psikolog yang memberi assesment belum berkompetensi, maka penyidikan bisa dihentikan.
“Saat ini kita memerlukan kebijakan publik terkait pemulihan yang ramah korban. Kami fokus pada pemulihan hak korban serta terus memastikan perlindungan korban dapat dilakukan setelah proses hukum berjalan. Untuk menjalankan hal ini diperlukan dukungan, sinergitas dan peran serta dari para stakeholder, masyarakat, komunitas termasuk psikolog dan konselor di seluruh wilayah sampai di tingkat daerah terpencil terkait penanganan awal sampai dengan proses pemulihan yang dapat dilakukan terhadap anak dan/atau perempuan yang menjadi korban tindak pidana, salah satunya bekerjasama dengan PUSPAGA,” jelas Livia.
Livia menambahkan pada prinsipnya ada beberapa hal yang perlu dikuasai psikolog pemeriksa dan pendamping, yaitu mampu meminimalisasi bias gender dan bias pandangan lain terhadap kasus yang diperiksa, memahami berbagai dampak kekerasan berbasis gender, memiliki kompetensi dan keterampilan yang baik untuk menggali data dengan cara terapetis dan melakukan intervensi psikologis pada saksi korban, menjadi pendengar yang baik, menggali fakta-fakta hukum dengan menunjukkan kepercayaan pada korban, berupaya memperoleh pemahaman yang komprehensif terkait inkonsistensi atau ketidakjelasan cerita korban. Herry