(Tulisan ke – 5) – SURAT TERBUKA UNTUK PRESIDEN JKW

632
×

(Tulisan ke – 5) – SURAT TERBUKA UNTUK PRESIDEN JKW

Sebarkan artikel ini

 Oleh: Mayjen TNI (Purn) Saurip Kadi

Bapak Presiden Joko Widodo Yang Terhormat,

Dari fakta yang diutarakan pada 4 tulisan surat terbuka terdahulu, kiranya lebih dari cukup untuk menyimpulkan bahwa kendala realitas yang besumber dari tata kenegaraan selama 75 tahun sangat membebani dan bahkan membelenggu kita sebagai bangsa. Kondisi tersebut diperparah oleh realitas kejiwaan bangsa dan budaya bangsa yang justru mengabaikan etika moral.

Untuk itu sebelum memasuki bahasan solusi, ijinkan saya membahas secara singkat  kedua materi tersebut.

Kesangsian Sebagian Anak Bangsa Terhadap Pancasila.

Bahwa karena tidak ada kejelasan konsep demokrasi sebagaimana yang tergambar dalam UUD 1945 hasil 4 kali amandemen, maka kini makna RES-PUBLICA berubah menjadi RES-MAJORITAS, sedang RES Negara diganti denga RES Golongan/Kelompok. Sementara RES UMUM diganti dengan RES TERBATAS, sedang RES RIIL diganti RES IMAGINASI. Bahkan kepentigan PUBLIK seenaknya saja dicampur dengan kepentingan Pribadi.

Dengan akumulasi residu masa lalu sebagaimana dipertelakan dalam ke 4 tulisan terdahulu, maka wajar saja kalau sejumlah anak bangsa yang tidak tahu duduk persoalan yang sesungguhnya tentang Pancasila, kemudian mempersoalkan validitas kebenaran Pancasila sebagai dasar negara. Karena 75 tahun perjalanan bangsa  dengan 7 Presiden sangatlah cukup untuk membuktikan ke “SAKHIH”an sebuah konsep politik, dalam hal ini Pancasila.

Dalam kaitan inilah maka menjadi kwajiban Pemerintah untuk mengajak segenap lapisan untuk memahami bahwa Pancasila sebagai dasar negara hingga saat ini belum pernah dijabarkan dalam bentuk nilai operasional kedalam batang tubuh UUD sebagai “KITAB SUCI” dalam berbangsa dan bernegara. Sekaligus menawarkan solusi untuk mengatasinya yang akan segera ditempuhnya. Bila tidak, maka ajakan untuk untuk menerapkan “ideology” lain dalam hal ini KHILAFAH dengan mudah akan membesar, karena diatas  namakan ajaran agama (Islam).

Memang mustahil upaya menggantikan Pancasila akan berhasil, namun bangsa ini kedepan harus mampu meredam munculnya potensi konflik untuk hal-hal yang sifatnya konyol. Bukan mereka terlahir, saat NKRI yang  berdasarkan Pancasila sudah duluan ada. Lantas ajaran Islam yang mana yang membenarkan perilaku yag demikian itu. Dalam kaitan inilah pentingnya bangsa ini untuk segera  menyempurnakan UUD sebagaimana yang diamanatkan Bung Karno tanggal 18 Agustus 1945 didepan Sidang PPKI.

Sosialisasi Pancasila Krisis Manfaat.

Pengusung gagasan untuk kembali menghidupkan PEMASYAKATAN (Sosialisasi) NILAI-NILAI Pancasila sepertinya lupa bahwa pada era Bung Karno maupun Suharto, nilai-nilai Pancasila disosialisasikan dengan begitu massivenya. Bukanah yang terjadi diakhir kekuasaan kedua pemimin tersebut, bangsa ini dilanda krisis nasional yang begitu dasyat dan keduanya kemudian lengser dengan mengenaskan.

Pemasyarakatan nilai-nilai Pancasila bukan tidak penting, tapi yang dibutuhkan segera bagi bangsa ini selama ini adalah bagaimana menjadikan Pancasila sebagai sistem nilai, yang diwujudkan dalam bentuk aturan main berbangsa dan bernegara. Yaitu, sistem kenegaraan yang diatur dalam UUD yang sistemik dan konstitutif (Saling Berhubungan, Ketergantuan dan Simbiose Mutualistik) dengan segenap peraturan perundang-undangan turunannya sebagai “RULE OF THE LAW” dan “RULE OF ENGAGEMENT” dalam berbangsa dan bernegara  yang benar benar ber “DNA” dalam arti dijiwai dan didasarkan pada nilai-nilai Pancasila.

Begitu pula cara pandang sesat yang menempatkan Pancasila hanya sebatas rumusan dan urut-urutan kelima sila Pancasila, sehingga mereka terus ribut soal Pancasila 1 Juni 1945, Piagam Jakarta atau Pancasila 18 Agustus 1945. Karena “ROH”, jiwa, semangat, tekad dan “KARSA” Pancasila dalam kedudukannya sebagai Dasar Negara, “Groundslag”, Dasar Filsafat Bangsa atau “Welstanchaung” dan bahkan “Way of Thinkung” bangsa hanya mungkin didapatkan dari Pemikiran Pendiri Bangsa yang secara resmi disampaikan pada sidang-sidang BPUPKI dan PPKI yang puncaknya disampaikan oleh Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945.

Sudah barang tentu keyakinan terhadap Pancasila sebagai sebuah paham yang hanya sebatas rumusan dan susunan kelima tanpa dibarengi “ROH”, jiwa, semangat, tekad dan “Karsa” sebagaimana yang dimaksud oleh “Founding Fathrs” kita, niscaya akan melahirkan bencana kembali bangsa ini, karena dalam implementasinya dengan mudahnya diselewengkan sesuai kepentingan pihak yang sedang berkuasa, sebagaimana yang terjadi dimasa lalu.

Budaya Bagsa Tanpa Roh Kebangsaan.

Berkat bumi Nusantara yang subur dan dengan Sumber Daya Alam yang melimpah, maka wajar saja kalau nenek moyang kita ini hidupnya  dimanjakan alam. Bagaimana tidak, kalau bangsa lain seperti bangsa Arab umpamanya, dimasa lalu sekedar untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya mereka berdagang dengan berkafilah puluhan kilometer. Sementara di kita untuk waktu yang sama, KERA saja gemuk-gemuk, apalagi manusia tanpa harus bertani sekalipun. Begitu pula yang tinggal di sub tropis, mereka niscaya akan mati kedinginan hanya karena tidak punya kain tebal untuk penghangat, sementara di kita sepanjang tahun bisa tidur dengan “OTE-OTE” (Telanjang Dada/Tanpa Baju).

Oleh karenanya, wajar saja kalau mereka dengan dilandasi oleh ajaran agama yang lahir pada eranya masing-masing, menonjol dalam penyusunan “TOOL” bagi wadah bersama dalam membangun peradaban. Sementara budaya leluhur kita, lebih pada soal kwalitas hidup yaitu tentang keseimbangan, keselarasan, kedamaian, keharmonisan dan pengendalian diri. Dari sanalah maka “Founding Fathers” kita pun menekankan pentingnya  SEMANGAT PENYELENGGARA NEGARA sebagaimana yang tertuang dalam penjelasan UUD 1945 yang asli.

Persoalan mendasar yang kita hadapi adalah ekses dari  proses menjadi bangsa sebagai pijakan dalam membentuk negara, karena sesungguhnya hingga saat NKRI diproklamasikan keberadaan Indonesia sebagai bangsa baru sebatas komitmen. “Founding Fathers” kita dengan cerdasnya menjadikan bangsa bangsa yang ada yaitu bangsa Aceh, Padang, Medan, Sunda, Jawa, dan puluhan bangsa lainnya, sebagai suku bangsa Indonesia. Dan kemudian kemajemukan yang ada dibingkai dengan NKRI dengan dasar negara Pancasila. Disisi lain, kearifan lokal yang ada dimasing-masing suku bangsa juga terlanjur menjadi  rusak atau bahkan sebagian lagi punah, karena pak Harto sempat menerapkan kebijakan dimana kebhinekaan yang ada DIUDEK jadi satu, bukan dibingkai dengan NKRI sebagaimana niat awal “Founding Fathers”kita.

Maka wajar saja kalau dalam menyelesaikan konflik yang terjadi tak terkecuali yang bersumber dari kebhinekaan itu sendiri, bangsa ini cenderung dengan menciptakan konflik baru termasuk dengan mengerahkan TNI. Disanalah maka budaya bangsa yang berkembang kemudian lepas dari tiga dasar fundamental nilai yaitu: “Prosperity, Solidarity dan Humanity”. Dan yang pasti hingga saat ini sebagai bangsa, persoalan sendi–sendi bernegara dalam hal ini tentang Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika dalam realitanya belum selesai.

Dan dalam prakteknya persoalan budaya bangsa menjadi lebih runyam, ketika kehidupan beragama dalam hal ini khususnya Islam, pensyiarnya begitu saja mencampur adukkan antara nilai-nilai ke ILLAHI an dengan “Arabism” dalam artian budaya. Seolah semua yang ada di Arab tak terkecuali soal budaya Arab saat Nabi Muhammad SAW masih hidup pun diposisikan sebagai bagian dari ajaran agama. Akhirnya seperti pemandangan yang sehari-hari kita lihat bersama belakangan ini, dalam beragama sebagian dari bangsa ini persoalan simbul (ARAB) jauh lebih menonjol dari pada laku atau karakter dan moral manusia yang didasarkan pada Islam (DIN), sebagaimana missi utama dari agama (Islam).

(Bersambung pada Tulisan ke 6 pada Surat Terbuka Kepada Presiden Jokowi Tentang Pentingnya Reformasi Syiar Agama, Manipulasi Sejarah Bangsa dan Pentingnya Islah).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *