4. Sikap politik pemerintah terhadap kasus megakorupsi Jiwasraya yang terkesan ditutup-tutupi (sementara beredar rumor di kalangan masyarakat bahwa pembobolan Jiwasraya melibatkan elite di lingkaran dekat kekuasaan dan dananya patut diduga untuk kepentingan politik Pilpres, hal yang harus diverifikasi).
Kasus megakorupsi Jiwasraya seharusnya dibawa ke Pansus DPR karena jumlah dananya jauh di atas Kasus Bank Century atau Hambalang. Namun disangsikan tidak ada niat politik sama sekali. Bahkan pilihan pemerintah untuk mendorong bailout Jiwasraya dengan menyuntikkan dana Rp 22 triliun akan menjadi skandal keuangan yang besar.
Tiadakah Bapak Presiden berpikir bahwa kasus ini akan menjadi pendorong kegaduhan nasional yang besar?
5. Rententan kejadian yang mengambil bentuk tindak kekerasan, penganiayaan hingga upaya pembunuhan dan pembunuhan terhadap Ulama/ Imam/ Da’i/tokoh agama, dan penodaan masjid/mushala oleh orang yang mengaku/diakui gila atau mengalami gangguan jiwa.
Sangat menarik dianalisa bahwa kejadian yg terjadi hampir beruntun itu menjadikan sebagai sasarannya adalah Islam/umat Islam atau lambang-lambang keagamaan Islam. Kejadian serupa pernah terjadi pada saat Pilpres yang lalu namun tidak ada penjelasan sama sekali tentang kemungkinan adanya aktor intelektualis. Kini terjadi lagi dengan modus operandi yang hampir sama.
Sungguh Bapak Presiden kejadian-kejadian tersebut dirasakan oleh pihak ormas-ormas Islam (kebetulan kami berada di dalamnya) sebagai bentuk teror mental terhadap umat Islam. Kejadian pada 2018 belum terjelaskan, kini terulang kembali dengan dugaan tidak akan ada penjelasan dan penyelesaian.
Mohon peristiwa demikian tidak diabaikan dan kiranya Bapak Presiden perlu turun tangan sendiri, dengan menjamin keamanan dan keselamatan para Ulama/ Dai/ Tokoh Islam. Jika dibiarkan, tidak mustahil mereka akan kehilangan kesabaran untuk menegakkan hukum dengan caranya sendiri.
6. Ada penyebab kegaduhan yang agaknya tidak disadari, yaitu kecenderungan pemerintah untuk memasung hak demokrasi rakyat.
7. Aparat penegak hukum dan keamanan bersikap tidak memberi perlindungan terhadap organisasi atau kelompok masyarakat yang dijamin oleh UUD 1945, khususnya terhadap Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI).
Aksi penolakan terhadap kegiatan KAMI di berbagai daerah diyakini bukanlah aspirasi murni, tapi ditengarai/patut diduga (ada beberapa bukti) direkayasa dan didanai oleh pihak tertentu. Dan terhadap aksi mereka itu, Polri tidak menunjukkan profesionalitas dan sikap berkeadilan.
Seharusnya Polri melindungi dan mengayomi pihak yang beracara dan mencegah pihak lain untuk mengganggu. Namun yang terjadi di lapangan sebaliknya.
Jika hal ini berlanjut Bapak Presiden, sangat mungkin akan menimbulkan bentrok di antara kelompok masyarakat. Adalah sangat tidak fair kalau ada pembantu presiden yang justru menuduh KAMI menciptakan stabilitas dan mengancam “akan melakukan perhitungan”.
Sungguh Bapak Presiden, inilah pangkal kegaduhan yang mungkin terjadi, jika sikap dan tindakan demikian tidak diberhentikan. Sikap demikian pada penilaian KAMI adalah bentuk represifitas, antidemokrasi dan intoleransi yang mengganggu proses demokrasi Indonesia.
Gangguan terhadap demokrasi Indonesia semakin diperparah oleh pemberlakuan izin bagi kegiatan masyarakat seperti disyaratkan adanya izin untuk berkumpul dan demonstrasi, suatu hal yang sudah dihapus sejak Era Reformasi 1998.
Yang Mulia Bapak Presiden