Banda Aceh, faktapers.id – Provinsi Aceh merupakan salah satu provinsi dengan kasus kekerasan terhadap perempuan cukup tinggi. Pada 2019, diketahui sejumlah 542 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi di Provinsi Aceh. Adapun jenis kekerasan yang paling banyak terjadi adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yaitu 352 kasus (Data P2TP2A Aceh, 2019). Untuk menindaklanjuti hal tersebut, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Bintang Puspayoga bersama Pemerintah Provinsi Aceh melaksanakan Sosialisasi Pencegahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Sejak Dini kepada generasi muda di Kota Banda Aceh, Aceh.
“Kasus kekerasan yang banyak dialami para perempuan seringkali disebabkan karena masih kentalnya budaya patriarki di tengah masyarakat dan adanya anggapan bahwa KDRT merupakan ranah pribadi sehingga dianggap wajar dan tabu untuk dicampuri, sehingga sedikit yang berani melaporkan.
Padahal permasalahan KDRT merupakan persoalan publik yang secara nyata diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT. Dengan begitu, sudah menjadi kewajiban kita bersama untuk menghapuskan KDRT,” ujar Menteri Bintang.
Menteri Bintang menegaskan disamping melakukan upaya penanganan kasus KDRT, perlu juga dilakukan pencegahan dengan melibatkan generasi muda. Hal ini akan lebih mudah bila dibandingkan penanganan KDRT pada pasangan yang sudah menikah, karena akan lebih sulit dan memerlukan waktu, biaya, serta pengorbanan lebih banyak. Selain itu, dampak yang ditimbulkan dari KDRT bisa berupa fisik maupun psikologis yang sangat besar.
“Rantai permasalahan KDRT harus kita putuskan, salah satunya melalui upaya peningkatan pemahaman, pengetahuan, dan peran nyata muda mudi calon pengantin dalam menghapus KDRT. Semakin cepat generasi muda mengenali potensi KDRT, maka mereka akan semakin siap untuk menghindarinya. Selain itu, peningkatan keterampilan bagi perempuan juga diperlukan agar mereka dapat memiliki akses, peran, kendali, dan manfaat yang sama dengan laki-laki atas hasil pembangunan. Bila hal ini tercapai, maka kesetaraan dan keadilan gender dapat terwujud dan pada akhirnya Kekerasan Berbasis Gender (KBG), termasuk KDRT, dapat dihapuskan,” ungkap Menteri Bintang.
Lebih lanjut Menteri Bintang menjelaskan bahwa rumah seharusnya menjadi tempat yang paling aman bagi perempuan dan anak. Segala bentuk kekerasan khususnya KDRT disebabkan karena adanya faktor-faktor dominan yang bersifat kolektif dan multi faktor. “Untuk menangani kompleksnya persoalan KDRT, tentu memerlukan sinergi banyak pihak. Oleh sebab itu, saya mengajak seluruh pihak, baik Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, akademisi, dunia usaha, media massa, maupun masyarakat luas, agar berupaya maksimal menghapuskan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak, terlebih lagi KDRT karena tanpa sinergi yang kuat, masalah KDRT akan sulit dihapuskan,” terang Menteri Bintang.
Pada acara ini, Perwakilan Dinas PPPA Provinsi Aceh, Yuslita menuturkan bahwa tingkat kekerasan terhadap perempuan dan anak di Provinsi Aceh, tertinggi terjadi di Kota Banda Aceh dengan jumlah 162 kasus pada 2019, dan 59 kasus pada 2020. Adapun upaya yang terus dilakukan Pemerintah Aceh dalam komitmen menurunkan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak khususnya KDRT, yaitu dengan melakukan penguatan kelembagaan perlindungan perempuan dan anak, seperti Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA), mengesahkan dan menerapkan Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak.
Salah satu peserta Sosialisasi yang merupakan Ketua Pemuda Gampong Garot Aceh Besar, mengungkapkan tingginya kasus KDRT di Kota Banda Aceh disebabkan karena kurangnya bekal bagi para calon pengantin untuk membina rumah tangga sehingga seringkali masalah diselesaikan dengan kekerasan. Ilham menambahkan banyaknya kasus perkawinan usia anak juga turut menjadi faktor pemicu terjadinya KDRT di Kota Banda Aceh.
“Melalui acara ini, kami sadar pentingnya melakukan sosialisasi pencegahan secara masif dan terus menerus kepada masyarakat luas di tingkat akar rumput. Pendampingan tokoh agama juga diperlukan dalam memberikan pembekalan kepada calon pengantin dan masyarakat luas bahwa berbuat dzalim (jahat) kepada istri merupakan perbuatan dosa. Sinergi para aparat penegak hukum (APH) juga sangat dibutuhkan dalam menangani persoalan KDRT karena menimbulkan penderitaan bagi perempuan dan berefek buruk pada anak, diantaranya memberikan efek jera kepada pelaku kekerasan melalui pemberian hukuman tanpa adanya anjuran berdamai dalam penanganan kasus,” jelas Ilham.
Disamping itu, peserta lainnya, Fazila menjelaskan usai mengikuti acara Sosialisasi, ia menyadari pentingnya membangun pemikiran bahwa perempuan bukanlah kelompok yang lemah.
“Seringkali perempuan mendapat stigma sebagai kelompok yang lemah. Penilaian inilah yang mempengaruhi psikis mereka dan membuat perempuan rentan mengalami KDRT. Jadilah perempuan yang berpikir kritis, mari kita tunjukan bahwa perempuan dan laki-laki setara. Bangun komunikasi yang baik dengan pasangan, jangan ada yang merasa lebih superior, selesaikan masalah dan konflik secara baik-baik, dan tidak dengan emosi,” ungkap Fazila. Her