Lindungi dan Penuhi Hak Perempuan Adat dalam Pembangunan Bangsa

490
×

Lindungi dan Penuhi Hak Perempuan Adat dalam Pembangunan Bangsa

Sebarkan artikel ini

Jakarta, faktapers.id – Perempuan adat sebagai bagian dari masyarakat adat memiliki peran luar biasa dalam pembangunan bangsa ini. Selain sebagai garda terdepan pelindung nilai-nilai budaya dan kearifan lokal nusantara, perempuan adat juga memiliki peran besar dalam ketahanan ekonomi, memegang peranan sosial, maupun dalam menjaga kelestarian lingkungan alam. Namun sayangnya, masih banyak perempuan adat menerima stigma dan diskriminasi akibat kentalnya budaya patriarki, kurang dilibatkan dalam proses pembangunan, mengalami kekerasan berbasis gender, hingga terjerat dalam kemiskinan, dan masalah lainnya. Untuk itu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) bersama pemangku kepentingan lainnya terus melakukan berbagai upaya untuk melindungi dan memberikan hak-hak perempuan adat.

“Pemerintah sangat mengagumi potensi perempuan adat serta memahami bahwa mereka butuh perlindungan dan terpenuhi hak-haknya seperti perempuan Indonesia lainnya. Untuk itu, Kemen PPPA bersama pemangku kepentingan lainnya telah melakukan berbagai upaya perlindungan dan pemenuhan hak perempuan adat, di antaranya yaitu menyusun Policy Paper tentang ‘Kebijakan Nasional yang Non Diskriminatif dan Responsif Gender’ dengan mengusulkan Indikator Gender dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Hukum Adat yang telah didaftarkan dalam Program Legislasi Nasional RUU Prioritas pada 2020,” ungkap Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga dalam acara Simposium Perempuan Adat ‘Menakar Jaminan Pelindungan Hak Perempuan Adat dalam Kebijakan Pembangunan’ dengan tema ‘Perempuan Adat Penjaga Keberagaman dan Identitas Bangsa yang dilaksanakan secara virtual.’

Lebih lanjut Menteri Bintang menjelaskan bahwa untuk meningkatkan peran penting perempuan dan masyarakat adat dalam memajukan bangsa, dibutuhkan upaya dalam memperkuat persamaan hak bagi laki-laki dan perempuan. Indonesia menjamin hal tersebut dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020 – 2024. Adapun wujud nyata dalam mendukung aksesibilitas perempuan adat khususnya pada hak pendidikan, Kemen PPPA telah meluncurkan Sekolah Perempuan pada 2019 silam. Hal ini ditujukan agar perempuan mampu membuktikan bahwa dirinya bisa berperan bagi diri sendiri, keluarga dan masyarakat.

“Meskipun jalan menuju kesetaraan gender begitu berliku, namun tidak boleh ada seorang perempuan pun yang menderita atau tidak menunjukkan potensi maksimal akibat ketidaksetaraan gender tersebut, terlepas dari suku, agama, ras, usia, tempat tinggal, maupun latar belakang lainnya. Hal ini sejalan dengan prinsip Tujuan Pembangunan Nasional (SDGs) yaitu no one left behind. Untuk menyelesaikan persoalan terkait isu perempuan dan anak secara komprehensif diperlukan sinergi dari seluruh sektor pembangunan, baik pemerintah, akademisi, dunia usaha dan profesi, media massa, maupun masyarakat luas. Mari bergandengan tangan dan menyatukan kekuatan untuk saling mengisi kekosongan dan membuat perubahan yang jauh lebih besar, demi perempuan berdaya, anak terlindungi, Indonesia maju,” ujar Menteri Bintang.

Menteri Bintang menyampaikan apresiasi kepada Persekutuan Perempuan Adat Nusantara Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (PEREMPUAN AMAN) atas terselenggaranya acara simposium hari ini. “Acara ini memberikan ruang bagi perempuan, khususnya perempuan adat untuk dapat menyuarakan pendapatnya. Selain itu juga membuka perspektif kita akan kekuatan perempuan adat sebagai penjaga keberagaman dan identitas bangsa, sekaligus merumuskan tindak lanjut untuk menjaga mereka sebagai bagian dari perempuan Indonesia yang harus dilindungi, agar tetap aman, sejahtera dan terpenuhi segala hak-haknya,” jelas Menteri Bintang.

Pelaksanaan simposium ini merupakan momentum yang spesial karena berdekatan dengan perayaan Peringatan Hari Ibu (PHI) pada 22 Desember 2020 yang bertujuan untuk mengenang perjuangan para perempuan dalam meraih kemerdekaan. “Tentunya semangat juang yang sama akan sangat nyata jika kita wujudkan dalam simposium ini, demi kemajuan bangsa dan perempuan Indonesia,” tambah Menteri Bintang.

Pada acara ini, Ketua Umum Persekutuan Perempuan Adat Nusantara Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (PEREMPUAN AMAN), Devi Anggraini memaparkan Lembar Fakta dan Analisis ‘Membumikan Mimpi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dalam Tinjauan Perempuan Adat’ pada 2020 yang menunjukkan bahwa sebanyak 67.4% perempuan adat tidak pernah dilibatkan dalam konsultasi pembangunan yang berlangsung di wilayah adat mereka masing-masing, 33% menyatakan telah atau pernah kesulitan mendapatkan makanan bergizi, 87,8% mempersepsikan bahwa kemiskinan masih terjadi di dalam komunitas mereka, 38,9% menyatakan masih terjadi pernikahan anak di dalam komunitas masyarakat adat, dan 14,6% menyatakan terjadi kekerasan fisik/seksual dari suami atau pacar yang dialami perempuan adat.

Lembar Fakta dan Analisis ini merupakan hasil dari studi yang dilakukan PEREMPUAN AMAN kepada 1.116 perempuan adat sebagai partisipan dan melibatkan 31 komunitas adat di 44 desa. “Kami berharap data ini dapat digunakan sebagai data dasar untuk melakukan kajian lebih jauh dalam menyusun kebijakan di beragam level (mulai dari kampung hingga nasional) dan membangun gerakan dalam menyejahterahkan, melindungi, dan meningkatkan kualitas hidup perempuan adat di Indonesia,” tegas Devi.

Dewan Pakar PEREMPUAN AMAN, Arimbi Heroepoetri menyoroti permasalahan terkait dampak dari proses proyek pembangunan (transmigrasi, perkebunan kelapa sawit, pertambangan) yang tidak menerapkan free and prior informed consent (FPIC) atau persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan. “Persoalan ini tentu mengancam masyarakat adat khususnya perempuan adat karena harus tersingkir dari lahan dan sumber penghidupan mereka, sehingga meninggalkan trauma dan mengantar masyarakat adat kepada kemiskinan. Hal ini jelas bertentangan dengan tujuan pembangunan itu sendiri,” tambah Arimbi.

Arimbi menilai kekerasan berbasis gender juga masih banyak dialami masyarakat adat, baik laki-laki maupun perempuan adat karena adanya peran gender yang dilekatkan kepada mereka dalam pengelolaan sumber daya alam. “Pola kekerasan ini, membawa kondisi laki-laki dan perempuan adat dalam posisi yang tidak teruntungkan. Dibutuhkan peran seluruh pihak untuk menangani berbagai permasalahan tersebut, baik oleh negara melalui pengesahan Undang-Undang Masyarakat Adat, Rehabilitasi, Affirmative Action, dan Hak Kolektif Perempuan Adat; oleh masyarakat luas melalui upaya memahami masyarakat adat secara utuh, serta melakukan edukasi kepada masyarakat di luar adat sebagai kelompok mainstream; serta oleh masyarakat adat itu sendiri yang harus membuka kesempatan setara untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan,” terang Arimbi. Her

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *