Cegah Perkawinan Anak, Lakukan Rekayasa Budaya Segera

×

Cegah Perkawinan Anak, Lakukan Rekayasa Budaya Segera

Sebarkan artikel ini

Jakarta, faktapers.id – Batas minimal usia pernikahan di Indonesia menjadi 19 tahun telah disahkan. Namun, bukan berarti upaya kita terhenti sampai disana. Perkawinan anak masih menjadi tantangan serius yang harus dihadapi bangsa ini. Beberapa wilayah di Indonesia masih tinggi praktik perkawinan anak, terlebih dengan adanya pandemi Covid-19 yang menjadikan anak rentan dikawinkan di usia yang masih belia. Kentalnya asumsi keliru dalam budaya masyarakat yang menganggap perkawinan merupakan jalan keluar dari berbagai permasalahan. Untuk itu, dibutuhkan pendekatan budaya melalui rekayasa budaya (Cultural Engineering) yang harus dilakukan segera dalam mencegah perkawinan anak.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Periode 2004-2009, Meutia Hatta sekaligus Pembina Yayasan Mitra Daya Setara (MDS) mengungkapkan dibalik berbagai upaya pemerintah dalam meningkatkan program pemberdayaan perempuan, perkawinan anak masih menjadi tantangan besar yang dihadapi bangsa ini. Hal ini diperkuat dengan hasil data statistik UNICEF dan PUSKAPA bekerjasama dengan BAPPENAS dan BPS yang menunjukkan dalam kurun waktu 10 tahun (2008-2018), penurunan angka perkawinan anak di Indonesia tergolong rendah yaitu 3,5% dan penyebaran kasusnya terjadi di banyak provinsi. Jumlah anak perempuan yang mengenyam pendidikan selama sembilan tahun di sekolah pun masih di bawah 10%, angka ini jauh dari harapan di tingkat nasional.

“Faktor budaya menjadi hal yang harus dikaji lebih dalam untuk memastikan upaya penanganan tingginya prevalensi perkawinan anak di berbagai wilayah Indonesia telah dilakukan. Itulah sebabnya rekayasa budaya saat ini, merupakan tuntutan yang harus dilakukan segera dan tidak bisa ditunda lagi, dengan menanamkan pola pikir baru, yaitu membangun semangat, inisiatif dan kreativitas berkarya kepada anak perempuan dan orangtuanya sebagai bekal hidup sebelum menikah. Rekayasa budaya harus diawali dari sini, dan selanjutnya harus menjadi bagian dari pembangunan karakter bangsa Indonesia, serta pembangunan kebudayaan nasional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara untuk menghasilkan manusia Indonesia yang unggul,” tegas Meutia dalam Webinar ‘Pendekatan Budaya dalam Mencegah Perkawinan Anak’ yang diselenggarakan sebagai rangkaian Peringatan Hari Ibu (PHI) Ke-92 Tahun 2020 yang mengangkat tema ‘Perempuan Berdaya, Indonesia Maju’.

Meutia menambahkan bahwa rekayasa budaya memerlukan proses panjang yang kontinyu, harus dipantau dan dievaluasi secara berkala. “Sejumlah kementerian terkait di bawah Kemenko PMK, perlu menyusun program-program yang serius dan saling melengkapi untuk menangani perkawinan anak, berkaitan dengan tujuan pembangunan karakter bangsa secara serius dan terfokus, demi peningkatan harkat dan martabat bangsa Indonesia. Khusus bagi kaum perempuan Indonesia saat ini, mencegah perkawinan anak adalah bagian dari upaya peningkatan kualitas hidupnya agar setara dan saling melengkapi dengan laki-laki dalam membangun Indonesia yang memiliki berbagai tantangan baru dari zamannya, kini dan di masa depan,” jelas Meutia.

Di samping itu, Menteri PPPA, Bintang Puspayoga menjelaskan bahwa praktik perkawinan anak seringkali dilakukan di dalam keluarga dan masyarakat karena dianggap solusi dan membawa kebaikan bagi perempuan di kehidupannya. “Padahal perkawinan anak merupakan masalah sosial yang masif dan memasuki tahap darurat. Semua tradisi, adat, dan budaya memang memiliki makna dan maksud yang baik. Namun, dengan perkembangan yang ada, baik secara sosial, budaya, dan ilmu pengetahuan, kita harus menyesuaikan pola hidup, pola perilaku, dan pola pikir dengan perkembangan zaman, tentunya dengan tidak meninggalkan kebaikan dan makna dari tradisi tersebut. Dengan begitu, identitas kita akan tetap terjaga dan tidak melanggar moralitas. Berbagai konstruksi sosial yang merugikan perempuan dan anak dalam bentuk apapun harus dihapuskan,” ungkap Menteri Bintang.

Pada 2019, terdapat 22 Provinsi di Indonesia yang memiliki angka perkawinan anak lebih tinggi dari angka nasional (Data BPS, 2019). Bahkan UNFPA telah memprediksi, bahwa sekitar 13 juta perkawinan anak akan terjadi pada 2020 – 2030 akibat pandemi Covid-19. “Hal ini patut menjadi perhatian dan harus kita waspadai, mengingat perkawinan anak menimbulkan berbagai dampak dan risiko tinggi bagi kehidupan anak yang menjalani perkawinan tersebut karena belum cukupnya kesiapan fisik, kesiapan mental untuk bertindak dan bertanggung jawab sebagai orang tua, meningkatkan risiko putus sekolah, meningkatkan angka pekerja anak, hingga menimbulkan terjadinya kemiskinan lintas generasi,” ungkap Menteri Bintang.

Pemerintah telah melakukan langkah progresif dengan meningkatkan batas usia minimal anak menikah menjadi 19 tahun bagi perempuan dan laki-laki, melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Disusul dengan dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin. Oleh karena itu, Menteri Bintang mengajak seluruh pihak untuk memastikan dan melakukan upaya bersama agar peraturan-peraturan yang telah disahkan benar-benar dapat diimplementasikan dan diterima oleh masyarakat.

Berdasarkan Data Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, pada Januari hingga Juni 2020 terdapat 34.000 permohonan dispensasi perkawinan yang diajukan. Dari 97% permohonan yang dikabulkan, 60% di antaranya diajukan oleh anak. Merespon hal ini, Menteri Bintang menekankan perlunya pengetatan syarat dan prosedur pemberian dispensasi perkawinan. “Menghapuskan praktik perkawinan anak bukanlah hal yang mustahil. Jika kita menyamakan persepsi, menyatukan tujuan, dan bergandengan tangan, saya yakin kita dapat menghapuskan praktik ini. Marilah bersama-sama kita bersinergi dan melakukan kerja nyata dalam upaya pemenuhan hak dan perlindungan khusus anak, pengarusutamaan gender, dan pemenuhan hak perempuan. Demi terwujudnya Perempuan berdaya, anak terlindungi, Indonesia maju,” ujar Menteri Bintang.

Pada acara ini, Menteri PPPA Periode 2014-2019, Linda Amalia Sari Gumelar mengungkapkan alasan yang melatarbelakangi dipilihnya ‘Pendekatan Budaya dalam Mencegah Perkawinan Anak’ sebagai tema webinar ini yaitu mengingat kondisi dan situasi masyarakat dengan berbagai faktor yang mempengaruhinya, selain faktor ekonomi, faktor yang sangat lekat dengan kebiasaan, adat istiadat, termasuk asumsi yang diyakini masyarakat setempat. “Hal inilah yang diindikasikan menjadi faktor paling mempengaruhi maraknya praktik perkawinan anak. Maka sangat penting untuk mengangkat topik ”Rekayasa Budaya (Cultural Engineering) dalam Mencegah Perkawinan Anak. Masyarakat juga masih sangat dipengaruhi oleh faktor pemahaman tafsir agama yang tidak selalu tepat dengan ajaran sebenarnya, bahkan terkesan mendukung praktik perkawinan anak. Pemahaman keliru terhadap penafsiran agama inilah yang harus diluruskan, khususnya terkait ketentuan perkawinan anak. Untuk itu, pada webinar kali ini, kami juga mengangkat topik “Pendekatan Agama dalam Mencegah Perkawinan Anak,” jelas Linda.

Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Zaitunah Subhan menjelaskan pentingnya upaya pendekatan agama dalam mencegah perkawinan anak. Zaitunah menuturkan bahwa perkawinan tidak sesederhana yang dibayangkan, baik dalam hukum Islam maupun hukum Negara, keduanya menekankan pentingnya kematangan fisik (Baligh) dan kematangan psikis (Aqil), serta kematangan mental bagi pasangan yang ingin menikah demi kemaslahatan rumah tangga.

“Masalah perkawinan sangatlah kompleks, memerlukan kedewasaan dan kebijaksanaan, harus memahami makna dan tujuan pernikahan. Jika salah satu pasangan atau keduanya belum siap, maka harus ditunda dari pada nantinya menjadi mudharat (kerugian). Dalam Al Quran sejatinya tidak ada batasan penetapan usia dalam menikah. Hadits Rasulullah SAW pun tidak mendorong atau memerintahkan untuk menikah muda,” terang Zaitunah.

Webinar ‘Pendekatan Budaya dalam Mencegah Perkawinan Anak’ ini di selenggarakan Kemen PPPA bersama Yayasan Mitra Daya Setara dimoderatori oleh Dosen FISIP Universitas Airlangga, Pinky Saptandari dan dihadiri 500 orang peserta yang terdiri dari organisasi, institusi, dan akademisi dari seluruh wilayah Indonesia. Yayasan Mitra Daya Setara merupakan lembaga yang bergerak di bidang sosial dan kemanusiaan, sekaligus wadah bagi para pensiunan Kemen PPPA yang diinisiasi oleh Menteri PPPA Periode 2014-2019, Linda Amalia Sari Gumelar pada 26 Februari 2019. Yayasan MDS memiliki visi yaitu mewujudkan lembaga yang berperan aktif, kreatif dan inovatif dalam menyelenggarakan pemberdayaan perempuan, kesetaraan gender, pemenuhan hak anak, dan perlindungan anak. Selain itu, memiliki misi di antaranya yaitu melakukan advokasi dan sosialisasi; melaksanakan pemberdayaan masyarakat; menyelenggarakan KIE; dan melakukan pemberdayaan SDM dari Yayasan. Her

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *