Headline

Ekploitasi Anak Melalui Medsos, Kemen PPPA Minta Orangtua Dampingi Anak Hadapi Era Digital

×

Ekploitasi Anak Melalui Medsos, Kemen PPPA Minta Orangtua Dampingi Anak Hadapi Era Digital

Sebarkan artikel ini

Jakarta, faktapers.id – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mengapresiasi upaya Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya dalam mengungkap kasus eksploitasi anak. Sejak Januari 2021, Polda Metro Jaya telah menerima 10 Laporan Polisi (LP) dan menetapkan 15 tersangka kasus eksploitasi anak. Korban dari kasus ini berjumlah 286 orang, 91 diantaranya masih berusia anak.

“Kami tentu mengapresiasi karena ada kepentingan anak yang harus sama-sama kita kawal, bahwa mereka masih punya masa depan dan harus kita tangani dengan sebaik-baiknya sesuai dengan Undang-Undang Perlindungan Anak,” tutur Deputi Perlindungan Khusus Anak Kemen PPPA, Nahar, dalam Konferensi Pers Pengungkapan Kasus Eksploitasi terhadap Anak dan Aborsi di Polda Metro Jaya, Kamis (25/2).

Menurut Nahar, meski memiliki berbagai sisi positif, gadget juga bukan tanpa risiko. Oleh karenanya, penting untuk melibatkan peran orangtua dalam mendampingi anaknya menghadapi era digital. “Ada keahlian yang harus orangtua miliki agar tidak terkecoh dengan kecanggihan zaman sekarang, yaitu berupa cara berkomunikasi terhadap anak, cara memproteksi gadget anak, hingga cara membuat kesepakatan kepada anak,” ujar Nahar.

Ke depan, Kemen PPPA akan melakukan empat pendekatan untuk menyelesaikan kasus eksploitasi anak, yaitu pendekatan personal kepada anak, pendekatan keluarga, pendekatan komunitas, dan pendekatan kelembagaan, baik pusat maupun daerah. “Jika masyarakat menemukan kasus serupa bisa segera menghubungi Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA)/Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) di wilayah masing-masing atau menghubungi kepolisian terdekat,” tutur Nahar.

Kepala Bidang Hubungan Masyarakat (Kabid Humas) Polda Metro Jaya, Kombes Pol Yusri Yunus menyebutkan modus operandi kasus eksploitasi anak ini berawal dari perkenalan melalui media sosial. “Kemudian janjian bertemu di satu tempat, ada juga pelaku yang mencoba menjadikan korban sebagai pacar. Setelah itu baru diajak menginap,” ujarnya.

Yusri menambahkan, setelah berhasil diiming-imingi, data korban pun masuk ke para tersangka atau mucikari, setelah itu ditawarkan melalui salah satu aplikasi dengan tarif sekitar Rp300-500 ribu. “Pembagiannya ada, sampai dengan joki yang menjemput, mucikarinya berapa, korban berapa, itu ada pembagiannya,” ungkapnya.

Tersangka akan dijerat sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman 10 tahun penjara atau denda maksimal 200 juta. “Kemudian KUHP juga, di Pasal 296 dan di Pasal 506, kami akan lapis,” lanjut Yusri.

Sementara itu, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Susanto mengatakan kasus ini penting untuk menjadi pembelajaran dan perhatian bagi guru dan orangtua. “Kalau kita lihat dari sisi tren kasus, pintu masuk kasus ini adalah cyber. Dalam situasi Covid-19 seperti ini, apalagi pembelajaran masih jarak jauh, penggunaan media digital sangat tinggi bagi anak usia sekolah. Maka, titik rentan itu sangat tinggi kalau kemudian perhatian dan pantauan orangtua, serta literasi yang dilakukan oleh guru lemah,” ujarnya. Her

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *