Headline

Menteri Bintang Ajak Lembaga Masyarakat Cegah Perkawinan Anak Melalui Pendekatan Keagamaan dan Budaya

×

Menteri Bintang Ajak Lembaga Masyarakat Cegah Perkawinan Anak Melalui Pendekatan Keagamaan dan Budaya

Sebarkan artikel ini

Jakarta, faktapers.id – Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga mengungkapkan kasus perkawinan anak khususnya di tengah pandemi ini kian mengkhawatirkan. Belum lama ini masyarakat dihebohkan dengan viralnya kasus promosi perkawinan anak oleh salah satu Wedding Organizer (WO). Menindaklanjuti hal tersebut, Menteri Bintang mengajak seluruh pihak, khususnya lembaga masyarakat untuk bersinergi melakukan sosialisasi secara masif dan intervensi pencegahan perkawinan anak melalui pendekatan budaya dan keagamaan yang difokuskan pada daerah dengan kasus perkawinan anak tinggi, sesuai kondisi dan karakteristik daerah masing-masing.

“Mencegah dan menangani perkawinan anak merupakan tugas yang berat, namun jika dilakukan bersama-sama, baik pemerintah, dunia usaha, media massa, dan masyarakat, khususnya dengan bantuan lembaga masyarakat, saya yakin persoalan seberat apapun dapat terselesaikan. Oleh karena itu, saya meminta lembaga masyarakat agar bersinergi dalam menyosialisasikan pencegahan perkawinan anak secara masif kepada masyarakat luas, serta melakukan intervensi pencegahan melalui pendekatan keagamaan dan budaya. Dengan begitu, tujuan kita untuk mencegah dan menurunkan perkawinan anak di Indonesia pun akan cepat terlaksana,” ungkap Menteri Bintang dalam acara Dialog dengan Lembaga Masyarakat Peduli Anak yang dilaksanakan secara virtual.

Menteri Bintang menegaskan perkawinan anak merupakan salah satu bentuk tindak kekerasan terhadap anak, serta pelanggaran terhadap hak anak dan hak asasi manusia (HAM). “Anak yang dipaksa menikah atau karena kondisi tertentu harus menikah di bawah 18 tahun akan memiliki kerentanan lebih besar baik dalam akses pendidikan, kualitas kesehatan, potensi mengalami tindak kekerasan, serta hidup dalam kemiskinan. Belum lagi besarnya dampak negatif perkawinan anak yang tidak hanya dialami oleh anak yang dinikahkan, namun juga pada anak yang dilahirkan, sehingga berpotensi memunculkan kemiskinan antar generasi,” tambah Menteri Bintang.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2019 diketahui terdapat 22 provinsi di Indonesia yang memiliki angka perkawinan anak lebih tinggi dari angka rata-rata nasional. Selain itu, pada 2018 dan 2019, terdapat 18 provinsi yang mengalami kenaikkan angka perkawinan anak. Merespon hal ini, Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo telah menetapkan isu perkawinan anak sebagai 1 (satu) dari 5 (lima) agenda prioritas yang harus ditangani Kemen PPPA hingga 2024 mendatang. Pemerintah juga telah memasukkan isu perkawinan anak dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang secara tegas menargetkan penurunan angka perkawinan anak menjadi 8,74% pada akhir 2024.

Pemerintah juga telah merevisi Undang-Undang (UU) No. 1 Tahun 1974 menjadi UU No. 16 Tahun 2019 yang menetapkan batas usia menikah bagi perempuan dan laki-laki menjadi 19 tahun. “Regulasi dan kebijakan sudah banyak dihasilkan, namun upaya sosialisasi secara masif agar sampai ke masyarakat inilah yang harus kita lakukan bersama-sama. Saya mengapresiasi dan mengucapkan terima kasih kepada teman-teman NGO (lembaga masyarakat) yang telah bergerak di tingkat grass root (akar rumput) dalam memberikan perlindungan bagi anak Indonesia,” terang Menteri Bintang.

Pada awal 2020, Kemen PPPA bersama 17 Kementerian/Lembaga (K/L) dan lebih dari 65 lembaga masyarakat peduli anak, serta mitra pemerintah lainnya telah meluncurkan kembali Gerakan Bersama Pencegahan Perkawinan Anak (Geber PPA). “Melalui gerakan ini, kami secara terus menerus melakukan advokasi, sosialisasi, dan membongkar persepsi yang ada di masyarakat terkait dampak perkawinan anak,” jelas Menteri Bintang.

Menteri Bintang menilai dialog besama lembaga masyarakat sangat penting untuk dilaksanakan. “Saya ingin mendengarkan langsung apa saja peran, hambatan, serta masukan progresif yang sangat bermanfaat bagi Kemen PPPA. Hal ini dapat menjadi solusi ke depan, Kemen PPPA akan meresponnya melalui berbagai kebijakan, program, atau kegiatan nyata untuk lebih memberdayakan perempuan, melindungi anak, dan memenuhi hak-hak anak, demi mewujudkan Indonesia Layak Anak (IDOLA) 2030, Generasi Emas 2045, serta Indonesia Maju, tanpa praktek perkawinan anak,” tutur Menteri Bintang.

Perwakilan Yayasan Fahmina Cirebon, Jawa Barat, KH. Husein Muhammad mengungkapkan pandangan keagamaan menjadi hal problematis dan sensitif dalam isu perkawinan anak. Kuatnya sistem sosial dan ideologi patriarki menjadi penyebab terkuat terjadinya perkawinan anak di Indonesia. “Untuk itu, peran serta dan kerjasama seluruh komponen masyarakat, terutama melalui lembaga negara terkait dan lembaga kultural (agama dan adat) sangat penting dilakukan, demi terwujudnya kondisi lebih baik dan kemaslahatan bangsa,” jelas KH. Husein.

KH. Husein juga menegaskan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) telah memutuskan bahwa hukum mencegah perkawinan anak adalah wajib karena pernikahan anak lebih banyak menimbulkan mudharat (bahaya, keburukan) dibandingkan manfaat untuk anak itu sendiri. Adapun pihak yang paling bertanggungjawab untuk mencegah perkawinan anak adalah orangtua, pemerintah, masyarakat.

Pada acara ini, Deputi Program Dampak dan Kebijakan Yayasan Sayangi Tunas Cilik atau Save The Children, Tata Sudrajat menjelaskan pentingnya pengasuhan yang layak bagi anak dengan tidak hanya menerapkan kasih sayang tapi juga kelekatan. Hal tersebut merupakan pondasi kuat yang harus anak dapatkan dalam 3 (tiga) tahun di awal perkembangannya. “Jika anak gagal mendapatkan pengasuhan yang layak, maka ia menjadi mudah insecure (tidak aman), hingga terjebak dalam persoalan perkawinan anak,” tegas Tata.

Perwakilan Institut KAPAL Perempuan, Misiyah mengungkapkan ada beberapa hambatan yang turut menjadi titik kritis, dan sering dijumpai teman-teman NGO dalam menangani kasus perkawinan anak, khususnya di Lombok, NTB. Di antaranya yaitu pandemi menjadi alasan pemicu terjadinya perkawinan anak; aparat turut menjadi pelaku, dimana aparat desa justru mendukung dan menghalangi tindak pencegahan perkawinan anak, bahkan dilakukan oleh pihak yang paham hukum; selain itu, dibutuhkannya pembekalan bagi pemimpin sekolah perempuan terkait instrumen hukum dalam memutus kasus.

“Untuk menangani persoalan perkawinan anak salah satunya di NTB, kami telah bersinergi dengan lembaga masyarakat lainnya melakukan penanganan terhadap 33 kasus perkawinan anak di 3 (tiga) desa Lombok Utara dan Lombok Timur melalui program ‘Perempuan Champion’. Hasil dari upaya penanganan tersebut, 17 kasus berhasil dibatalkan, sedangkan 16 gagal karena alasan adat dan dilegitimasi oleh tokoh setempat,” tutur Misi. Her

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *