Headline

Pakar UGM : PPKM Saja Tak Cukup, Harus Ada Pembatasan Mobilitas yang Ketat

214
×

Pakar UGM : PPKM Saja Tak Cukup, Harus Ada Pembatasan Mobilitas yang Ketat

Sebarkan artikel ini

Faktapers.id – Pakar Epidemiologi Universitas Gadjah Mada (UGM), Riris Andono menyebut kebijakan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) berbasis mikro tak akan cukup untuk menanggulangi masifnya penyebaran Covid-19.

Riris mengusulkan pembatasan mobilitas diberlakukan secara ketat berdasar kesatuan skala epidemiologi.

“Restriksi mobilitas yang lebih luas dalam satuan epidemiologi. Pembatasan satu RT saja tidak akan mempengaruhi tingkat penularan, butuh sebagian besar populasi,” kata Riris dalam Webinar Varian Virus Corona Delta di Kudus yang diselenggarakan UGM, Rabu (16/6).

Apalagi, kata dia, kini varian Covid-19 B.1617.2 atau Delta telah ditemukan merebak di beberapa daerah. Varian asal India ini telah ditetapkan WHO sebagai Variant of Concern (VoC), menimbang dampak besarnya terhadap kesehatan masyarakat secara global.

Varian ini memiliki kemampuan penularan lebih cepat ketimbang varian alpha. Serta menyerupai varian beta atau B1351 untuk kemampuannya menurunkan respon imun. Kata Riris, ancaman kemunculan kasus-kasus berikutnya pun semakin nyata. Sehingga, memungkinkan terjadinya transmisi diam-diam atau silent transmission.

“Ketika sumber penularan, (pasien) masih tidak bergejala, bebas berkeliaran maka paparan itu banyak muncul berbagai tempat di populasi. Kita lihat sekarang mobilitas meningkat pasca lebaran dan muncul penularan kasus. Ini menyebabkan angka reproduksi Covid besar,” paparnya.

Sementara kunci menghentikan penyebaran virus Corona ini adalah dengan menekan angka reproduksi di bawah 1. Restriksi atau pembatasan mobilitas maka dianggap strategi yang tepat ditambah penerapan 3M, 3T, serta vaksinasi.

“Apabila kita kesulitan menemukan kasus yang ada, entah kapasitas diagnosis kita atau isolasi, karantina, maka restriksi mobilitas menjadi cara paling efektif menghentikan sirkulasi virus di populasi,” sebut Riris.

Restriksi mobilitas bertujuan mengunci agar penyebaran virus terkonsentrasi di satu wilayah saja. Penentuan wilayah bisa berdasarkan wilayah aglomerasi atau per kabupaten/kota.

“Misalnya Kartamantul, Yogyakarta, Sleman dan Bantul adalah satu satuan epidemiologi, karena mobilitas harian penduduk ketiga kabupaten/kota itu saling melintasi,” paparnya.

Berdasakan simulasi, tingkat mobilitas seseorang menentukan peluang keterpaparan virus. Semakin tinggi pergerakan dan interaksinya, semakin besar pula potensi penyebaran virusnya.

“Kemampuan memisahkan orang infeksius dari populasi kesulitan. Langkah berikutnya yang bisa menghentikan mobilitas virus juga tidak akan beredar ke populasi karena tidak bergerak kemana-mana. Virus beredar karena pergerakan kita sendiri,” imbuh Riris.

“Di dunia nyata penularan terjadi di rumah. Meski diam di rumah masih ada kemungkinan penularan di rumah. Tidak melakukan penghentian mobilitas cukup lama dan transmisi belum selesai di rumah, begitu mobilitas dilonggarkan pada saat itu juga transmisi meningkat,” katanya. (red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *