Faktapers.id – Budaya literasi menjadi sebuah trend pada pendidikan di Indonesia hari ini. Karena tidak bisa dipungkiri, bahwa minat baca anak-anak Indonesia masih sangat rendah. Kemampuan literasi ini berkaitan dengan keterampilan membaca untuk dapat memahami informasi secara analitis dan kritis. Untuk sekarang literasi tidak hanya dalam bentuk teks, melainkan juga menggunakan sumber literasi lain dalam bentuk visual, digital, video, dan lain sebagainya.
Dalam mengembangkan kemampuan literasi tersebut, Prodi Pendidikan Sejarah Pascasarjana UNJ mengadakan kegiatan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM) di SMAN 48 Jakarta. Sekolah ini menjadi sasaran kegiatan PKM karena di sana berdiri sebuah history club yang bernama KORAN (Komunitas Sejarah Empat Delapan). History Club ini diinisiasi oleh guru sejarah di sekolah tersebut dan menjadi sebuah terobosan baru di sekolah, karena masih jarang ekstrakurikuler sekolah yang bisa mewadahi minat sejarah siswa. Kegiatan PKM ini berlangsung pada hari Sabtu, 14 Agustus 2021 lalu. Peserta yang hadir adalah anggota KORAN, siswa-siswi SMA, guru, dan mahasiswa pendidikan sejarah.
Kegiatan ini dimulai dengan pemaparan dari anggota KORAN, yaitu Rangga Ramdhana, Anaya Hafshari, dan M. Fauzan. Karena bertemakan literasi, maka pemaparannya adalah hasil literasi para anggota KORAN dari film De Oost. Film De Oost sendiri, merupakan film baru yang menceritakan tentang Westerling. Nama Westerling dikenal karena kekejamannya dalam melakukan teror di Sulawesi Selatan. Dari hasil analis anggota KORAN, dapat disimpulkan 6 point dari film tersebut yaitu: Pandangan Belanda terhadap Indonesia, Orang Indonesia yang memihak Belanda, Rasisme, Mitologi Jawa, Pembantaian/Kejahatan Perang, dan Perpecahan diantara berbagai Golongan Indonesia.
Walaupun film ini merupakan karya fiksi, ternyata hal ini sejalan dari tujuan literasi yaitu meningkatkan rasa kritis terhadap peristiwa tersebut. Terbukti dalam pemaparannya, anggota KORAN juga mencari dokumen pendukung seperti foto, nama korban, dan lain-lain sebagai pembanding antara film dan fakta sejarahnya. Hal ini sangat diapresiasi oleh sejarawan Dr. Anhar Gonggong yang turut memeriahkan kegiatan tersebut. “Saya kagum dengan penjelasan anak-anak tadi. Mereka tidak buta sejarah, mereka cinta sejarah,” tutur Dr. Anhar.
Kegiatan berlangsung seru dan penuh dengan diskusi menarik karena setelah pemaparan hasil literasi, Dr. Anhar Gonggong juga menjelaskan Tragedi Westerling tersebut lebih medalam. Bahkan terungkap juga dalam sesi diskusi, keluarga Dr. Anhar termasuk korban dari tragedi tersebut. Dari kegiatan ini bisa ditarik kesimpulan, bahwa film bisa menjadi media menarik dalam mengembangkan literasi siswa. Pelajaran sejarah yang mungkin selama ini hanya dianggap sekedar hafalan, ternyata bisa dikemas lebih menarik jika gurunya bisa kreatif dan aktif menangkap minat siswa. (*)