Jakarta, faktapers.id – Dalam mempercepat program penyediaan Tes Viral Load HIV di Indonesia khususnya di Wilayah DKI Jakarta, Jaringan Indonesia Positif (JIP) menggelar media Briefing di Ibis Styles Hotels, Jakarta Pusat, Selasa (29/8/2023).
Pada kesempatan itu, Timotius Hadi selaku Advocacy Specialist JIP, memaparkan bahwa Pemerintah Indonesia bersama pemerintah daerah, provinsi, kota dan kabupaten saat ini sedang melaksanakan program penyediaan Tes Viral Load HIV, sebagai salah satu Komitmen dalam akselerasi upaya “Ending Aids” pada tahun 2030 mendatang.
“Tes viral load (VL) HIV merupakan tes darah yang penting untuk mengukur keberhasilan orang dengan HIV dalam menjalankan pengobatan. Tes ini dilakukan secara rutin setiap 6 bulan sekali atau minimal dilakukan 1 kali dalam setahun. Dan tes VL dilakukan secara rutin karena durasi pengobatan HIV dilakukan seumur hidup,” paparnya
Lanjut Hadi, tujuan dari hasil tes ini untuk melihat apakah pengobatan berjalan secara efektif atau tidak, dan dilakukan dengan mengukur kadar atau jumlah virus HIV dalam diri orang dengan HIV.
“Jika hasil tes VL menunjukkan pengobatan ARV pada orang dengan HIV tidak berjalan dengan baik, hal ini dapat menjadi dasar bagi dokter untuk menentukan pengobatan selanjutnya,” pungkasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Adi Mantara selaku tim Legal Jaringan Indonesia Positif (JIP), mengatakan bahwa Pemerintah Indonesia baik pusat maupun pemerintah daerah provinsi, kota/kabupaten, berkomitmen untuk mengakhiri Aids pada tahun 2030 mendatang atau yang dikenal dengan “Ending AIDS” 2030. Hal ini merujuk pada komitmen global dengan menggunakan indikator
95-95-95.
“Indikator 95-95-95 menyebutkan bahwa pertama, 95% orang yang diperkirakan hidup dengan HIV akan mengetahui status HIV-nya (testing), kedua, 95% orang yang telah mengetahui status HIV akan mendapatkan pengobatan ARV dan perawatan HIV, serta 95% orang yang telah mendapatkan terapi ARV akan mengalami supresi virus yang dapat diketahui melalui tes VL. Dan Ketiga indikator tersebut masuk dalam kebijakan Peraturan Kementerian Kesehatan (Perkemenkes) RI Nomor 23 tahun 2022 tentang penanggulangan HIV dan IMS,” katanya.
Diterangkannya, bahwa pemerintah pusat dan daerah telah berkomitmen dalam menyediakan pengobatan ARV dalam rangka untuk mendorong jumlah virus dalam tubuh orang dengan HIV dapat tersupresi sehingga berdampak pada penularan HIV yang lebih rendah.
“Berdasarkan indikator di atas, Pemerintah Indonesia perlu meningkatkan angka cakupan tes HIV, angka pengobatan ARV dan tes VL untuk mengakselerasi keberhasilan program
penanggulangan HIV,” terangnya.
Berdasarkan hasil yang dipaparkan oleh Kementerian Kesehatan RI per Desember 2022, indikator 95% pertama saat ini baru tercapai 81%. Adapun indikator 95% kedua baru tercapai sebanyak 42% dari temuan 95 pertama. Terakhir, indikator 95% ketiga, baru 20% yang mendapatkan tes VL dari temuan 95 kedua.
“Oleh karena itu, saat ini pemerintah bersama dengan LSM dan masyarakat terus
berupaya melakukan akselerasi dalam meningkatkan capaian 95-95-95. Beberapa
diantaranya dengan melakukan skrining berbasis komunitas, menyediakan pengobatan ARV dengan rejimen yang lebih sederhana termasuk membuka penganggaran APBD daerah untuk dapat mendukung program nasional dalam penanggulangan HIV. Saat ini, stigma dan diskriminasi masih menjadi tantangan terbesar dalam penanggulangan HIV di Indonesia. Masyarakat masih takut untuk melakukan tes HIV, takut diketahui status HIV-nya dan takut datang ke layanan HIV untuk mendapatkan pengobatan,” tandasnya.
Adanya informasi yang salah terkait dengan HIV di masyarakat selama ini, membuat stigma dan diskriminasi sulit dihilangkan. Bentuk stigma yang terjadi juga beragam, misalnya; pengusiran dari lingkungan sosial dengan alasan bahwa masyarakat sekitar yang menolak, pemberhentian dari pekerjaan karena kualitas kinerja dan berbagai
bentuk diskriminasi lainnya.
Pencapaian indikator 95-95-95 harus menjadi tanggung jawab antara pemerintah dan masyarakat. Memastikan tersedianya lingkungan yang nyaman dan aman bagi orang dengan HIV, menyediakan kemudahan akses layanan kesehatan, bekerja, berkeluarga dan melakukan aktifitas lainnya, sehingga bisa mendorong orang dengan HIV tetap produktif buat masyarakat dan lingkungan sekitar.
Pemerintah Indonesia telah menyediakan tes VL sejak beberapa tahun lalu, hanya saja jumlah tes yang tersedia sangat terbatas. Pada 2023 terdapat penambahan kuota tes VL dengan harapan dapat mendorong capaian 95% ketiga. Melalui Surat Edaran Dirjen P2P No PM.02.02/C/2980/2023 tentang Percepatan Pemeriksaan Viral Load HIV Tahun 2023, pemerintah berkomitmen dalam meningkatkan penyediaan tes VL, di antaranya; penentuan target capaian tes VL sebanyak 70% pada 2023; penambahan layanan tes VL di beberapa Puskesmas.
“Kemudahan tes VL di berbagai tempat sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam surat edaran di atas. Strategi ini merupakan pendekatan yang baik untuk mendorong orang dengan HIV untuk tetap dalam perawatan sehingga penularan HIV dapat ditekan. Meski demikian, di beberapa layanan Kesehatan, kuota tes VL terbatas, biaya tes VL HIV masih cukup mahal dan saat ini belum ada dukungan
dari BPJS,” imbuhnya.
Masih dijelaskannya, Kesulitan dalam mengakselerasi
tes VL saat ini karena distribusi Reagen yang tidak merata.
“Jadi kadang teman-teman di lapangan jadi berebut, dan kriteria yang dapat menerima tes VL tersebut juga sangat
subyektif dari petugas kesehatan di sana. Kadang yang rajin datang ambil obat dan
sudah lama, justru tidak kebagian. Padahal tujuan tes ini kan untuk melakukan monitoring. Adapun dari sisi pembiayaan, tes ini juga masih dirasa sangat mahal. Jika dibanding dengan beberapa negara di Asia Tenggara, harga tes VL di Indonesia masih yang termahal diantara negara lain di Asia Tenggara. Jika upaya-upaya akselerasi di atas dilakukan, maka ada optimisme untuk mencapai “Ending AIDS” pada 2030 akan dapat terwujud. Hanya saja sekarang diperlukan peran berbagai pihak untuk menyukseskan upaya ini, baik dari sisi penyedia layanan, LSM, komunitas dan juga orang dengan HIV, termasuk peran aktif stakeholder terkait yang dapat menciptakan lingkungan yang nyaman dan aman agar orang dengan HIV dapat mengakses tes VL,” tuturnya.
Untuk keberlanjutan program ini, pemerintah diharapkan dapat menambah
jumlah kuota tes HIV di layanan kesehatan dan menekan pembiayaan tes VL HIV agar lebih terjangkau dengan pembebanan biaya VL melalui BPJS atau melalui dukungan pendanaan APBD daerah,” Tutup Hadi dan Adi Mantara dalam pemaparannya.
(ibeng)