Oleh: *Amir Machmud NS
TRANSISI kehidupan pers dari masa Orde Baru ke era reformasi mengetengahkan zona tantangan yang berbeda bagi organisasi profesi kewartawanan.
Jauh sebelum masa reformasi, pemerintah mengukuhkan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) sebagai satu-satunya organisasi profesi kewartawanan, lewat SK Menteri Penerangan Nomor 47/ 1975. Ketentuan itu tidak lagi ada dalam Undang-Undang Nomor 40/ 1999 tentang Pers, dengan semangat keragaman dan hak berserikat sesuai dengan amanat Konstitusi.
Konsekuensinya, PWI mesti bersaing dengan rupa-rupa organisasi kewartawanan yang muncul bak cendawan di musim hujan sebagai realitas berkah reformasi 1998. Fenomena ini bisa pula dilihat sebagai semacam euforia dunia pers lantaran terlepas dari masa-masa keterbelengguan.
Persaingan itu menyangkut “wajah” dalam konteks tampilan visi, orientasi, karakter, seni, dan gaya dalam membangun relasi kepublikan. Akses ke pusat-pusat kekuasaan misalnya, tidak lagi menjadi dominasi PWI, melainkan juga organisasi profesi kewartawanan lain, yang masing-masing punya parameter “jarak” tersendiri.
Akses dalam berelasi, tentu tak terlepas dari tarikan respeksi antara organisasi profesi wartawan dengan stakeholders-nya. Dalam praktik, tak bisa dihindari potensi kemunculan “chaos” dalam hubungan antara PWI dengan pemangku kepentingannya.
“Relasi chaostik” itulah yang patut dicari jawab, “Ada apa?”. “ Mengapa terjadi?”. “Tak dihormatikah tugas dan fungsi profesi kita?” “Tak ada logika untuk mendapatkan respekkah organisasi kita?” Atau “Jangan-jangan kita sendiri yang disadari atau tidak disadari menciptakan kondisi seperti itu?” Dan, ujung-ujungnya, “Mengapa organisasi ini tidak lagi diperhitungkan?”
Nah, ketika narasi introspeksi “apakah tidak ada logika untuk memberi respek kepada wartawan/ PWI” itu kita apungkan, timbul pertanyaan: siapa yang seharusnya memulai relasi yang saling menghargai?
Penguatan Respek
Relasi yang sehat antara wartawan dengan narasumber/ pemangku kepentingan mutlak harus ditandai dengan sikap saling memahami tugas, peran, dan fungsi masing-masing. Tak boleh ada yang merasa sebagai entitas lebih unggul, makhluk tidak tersentuh, atau bersikap dominan/ superior terhadap yang lain.
Sebagai “rumah” dan “wadah”, PWI tak berbeda dari organisasi profesi kewartawanan yang lain. Respek akan didapat apabila PWI, pengurus, dan para anggotanya menguatkan “posisi respektif”-nya. Jangan berharap memperoleh respek publik bila performa kita tidak tidak mampu memancarkan respek internal.
Pada titik yang paling sederhana, membangun respek akan tercermin dari kemauan memperkuat kompetensi profesi — cakap teknis, kuat etis. Mahkota kehormatan terletak pada karya-karya jurnalistik sebagai produk kapasitas, bukan karena pemaksaan menampilkan jatidiri sebagai entitas sangar untuk ditakuti. Disegani bukan karena aura intimidasi. Publik respek karena menghormati produk unggul jurnalistik kita, dari kemitraan kritis kita.
Pada level komunitas, keseganan kepada profesi ini bisa dilahirkan dari performa organisasi yang dirawat dengan penuh kemartabatan.
Lalu dari mana kemartabatan kita dapatkan? Utamanya tentu dari sikap profesional. Sikap ini akan menghasilkan respek kepublikan. Lalu respek akan menjadi fondasi eksistensial organisasi dan profesi.
Jangan berharap akan muncul kemartabatan profetik sebagai awal mula respek publik, kalau kita tidak konsisten menegakkan pilar-pilar organisasi. Siapa pula yang diharapkan menjadi penjaga konstitusi kalau bukan anggota dan pengurus organisasi profesi itu?
Apakah kebiasaan dalam sikap-sikap bersiasat, memainkan celah, dan bergerak atas logika justifikasi kepentingan bisa diharapkan memperkuat respek kepublikan? Tentunya tidak.
Nilai Kehormatan
“Rumah besar” bernama PWI ini berdiri dan berkembang di atas penyangga berupa Peraturan Dasar dan Peraturan Rumah Tangga (PDPRT). Di dalam substansi penyangga itu bisa kita resapi makna, tujuan, dan nili-nilai kehormatan profesi.
Nilai-nilai kehormatan itu berupa karya jurnalistik tentang kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan, yang jika konsisten diperjuangkan oleh profesi ini, bisa diharapkan menyemburatkan aura respek kepublikan.
Tantangan respektif PWI rasa-rasanya tak berubah dari periode ke periode, apa pun dinamika yang muncul lewat kongres ke kongres, termasuk dari Kongres 2023 di Bandung, 24- 27 September nanti.
Ajakan melakukan refleksi komprehensif kiranya cukup menjelaskan tentang kebutuhan nyata PWI saat ini: kita bangun respek kepublikan dengan menyulam secara konsisten respek internal kepada diri kita, kepada rumah besar kita, dengan unjuk kehormatan melalui karya-karya jurnalistik yang berkeunggulan nyata.
Penulis: *Wartawan suarabaru.id dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah