TEMPO.CO, Surabaya – Oetomo Rahardjo, 80 tahun, ayah aktivis prodemokrasi Petrus Bima Anugerah, mengatakan sengaja tidak menonton acara program debat capres di televisi pada Selasa malam, 12 Desember 2023. Oetomo berujar sudah tidak mempercayai siapa-siapa lagi ihwal janj-janji pemerintah dan capres berkaitan dengan hilangnya Petrus Bima di Jakarta pada Maret 1998 lalu.
“Gak ngurus debat aku, wis blas gak percaya (saya tidak perduli debat, sama sekali tidak percaya),” kata Oetomo yang berdomisili di Malang, saat dihubungi Rabu, 13 Desember 2023.
Menurut Oetomo, ia sudah sering mendengar janji-janji pemerintah terhadap kasus penculikan mahasiswa Jurusan Komunikasi Fisip Universitas Airlangga yang akrab disapa Bimo Petrus itu.
Bahkan, kata Oetomo, pemerintah pernah menjanjikan dana kompensasi segala. “Endi buktine (mana buktinya). Makanya saya sekarang sudah tidak mikir itu (debat),” kata lelaki yang suaranya sudah terdengar gemetar dan lemah itu.
Menurut Oetomo ia lebih memikirkan kondisi kesehatannya yang menurun karena terserang diare hampir satu bulan dan belum sembuh sampai sekarang. Oetomo berujar telah berobat ke rumah sakit, bahkan sempat opname seminggu lamanya.
“Saya disuruh pulang, dikasih obat jalan. Sekarang saya fokus ke sakit saya ini. Ini saya mau sarapan dan minum obat,” kata Oetomo.
Sementara itu kakak ipar Herman Hendrawan, Bastomi Basra, juga mengaku tidak menonton debat capres yang salah satunya membahas isu pelanggaran HAM itu. Menurut Bastomi ia tak sempat menghidupkan televisi karena anak cucunya sedang berkunjung.
“Saya semalam main-main dengan cucu, tak sempat menonton debat,” kata Bastomi, warga Jalan Sumedang, Kelurahan Kejaksaan, Kecamatan Tamansari, Pangkalpinang, saat dihubungi Tempo.
Sama dengan Oetomo, Bastomi juga pesimistis kasus penculikan aktivis 98 bisa dituntaskan karena doktrin tentara sangat kuat, sehingga tak akan mungkin membuka kejadian tersebut. Menurut Bastomi keluarga Herman Hendrawan sudah pasrah menerima kenyataan ini.
Iklan
“Jiwa korsa tentara masih tetap kuat, kayak zaman Soeharto dulu. Kami pesimis kasus hilangnya Herman Hendrawan terungkap. Saat ini keluarga sudah pasrah, kalau ketemu hidup ya alhamdulillah, tapi kalau dia sudah mati kami ingin tahu kuburnya di mana,” kata Bastomi.
Bastomi berujar, sebelum hilang, Herman Hendrawan sempat pulang ke Pangkalpinang dan menggendong anaknya. Ketika itu Bastomi yang menikahi kakak perempuan Herman nomor tiga, baru dikaruniai anak.
“Sambil gendong anak saya, ia melihat Presiden Soeharto pidato di televisi. Ia bilang ‘ini nanti akan kami turunkan, hancur negara ini karena dia dan kroni-kroninya.’ Saya enggak terlalu tahu aktivitas Herman waktu itu, tahunya ia kuliah di Surabaya,” kata Bastomi.
Isu pelanggaran HAM sempat diangkat dalam debat capres pertama di kantor KPU RI Selasa malam. Capres nomor urut 3 Ganjar Pranowo menanyakan penyelesaian kasus pelanggaran HAM pada capres nomor urut 2 Prabowo Subianto, apakah jika yang bersangkutan jadi presiden akan membentuk pengadilan HAM, dan apakah Prabowo mau memberi tahu keluarga korban orang hilang di mana kuburnya.
Menjawab pertanyaan itu, Prabowo antara lain mengatakan tak masalah jika harus membentuk pengadilan HAM. Namun ia menilai pertanyaan Ganjar tendensius. Prabowo juga berujar bahwa isu pelanggaran HAM selalu diangkat lima tahun sekali atau bila hasil survei dia bagus.
Koordinator Ikatan Keluarga Orang Hilang (Ikohi) Jawa Timur Dandik Katjasungkana mengatakan tak semua penyuaraan isu penghilangan paksa aktivis karena bermuatan politis. Ia mencontohkan Ikohi yang konsisten menyuarakan kasus aktivis hilang ada atau tidak ada pemilu.
“Kami konsisten menyuarakan isu ini, tak peduli ada pemilu atau tidak. Kalau kubu Prabowo bilang isu pelanggaran HAM diangkat lima tahun sekali, itu salah,” kata Dandik.
Pilihan Editor: Janji Ganjar Pranowo Selesaikan Pelanggaran HAM di Papua: Dialog dengan Masyarakat