Surakarta, faktapers – Diskusi publik yang digelar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Surakarta (FEB UMS) pada Senin (11/3/2025) sore menarik perhatian banyak pihak, termasuk mahasiswa, akademisi, dan aktivis hukum. Acara yang berlangsung antara pukul 16.00 hingga 18.00 WIB ini mengangkat tema kontroversial terkait dengan revisi Undang-Undang Kejaksaan. Selain menyajikan pembahasan mendalam mengenai potensi permasalahan dalam revisi tersebut, diskusi ini juga diwarnai dengan sesi buka bersama sebagai simbol solidaritas dan semangat kolektif dalam mengawal reformasi hukum Indonesia.
Kewenangan Kejaksaan dan Potensi Penyalahgunaan
Sejumlah pemateri dalam acara ini menyoroti pentingnya pengawasan yang lebih ketat terhadap kewenangan yang diberikan kepada Kejaksaan dalam revisi RUU Kejaksaan. Salah satunya adalah Dr. Rizka, MH, akademisi hukum dari UMS, yang mengungkapkan kekhawatiran terkait tumpang tindih kewenangan yang dapat terjadi antara Kejaksaan dan lembaga penegak hukum lainnya. “Jika tumpang tindih kewenangan ini tidak dikelola dengan hati-hati, bisa saja kita melihat munculnya kebingungan yang memperburuk implementasi hukum. Apalagi tanpa pengawasan yang memadai, hal ini berpotensi membuka ruang bagi penyalahgunaan wewenang,” jelas Dr. Rizka.
Dr. Rizka juga menekankan bahwa pemberian kewenangan intelijen kepada Kejaksaan merupakan langkah yang berisiko, mengingat kewenangan yang terlalu besar tanpa pengawasan yang efektif bisa merusak sistem checks and balances yang menjadi pondasi dari sistem pemerintahan Indonesia. “Kewenangan yang tidak terkontrol bisa menjadikan Kejaksaan sebagai ‘superbody’ yang mengancam tatanan hukum yang ada,” tambahnya.
Penguatan Dominus Litis: Ancaman Bagi Keberagaman Proses Hukum
M. Arief Oksya, fungsionaris DPP KNPI dan Founder Orpol Foundation, turut memberikan pandangannya. Ia menegaskan bahwa salah satu risiko terbesar dari revisi UU ini adalah penguatan posisi kejaksaan sebagai dominus litis, yang akan memberi kejaksaan kontrol sepenuhnya dalam penanganan perkara. “Jika revisi ini disetujui tanpa pengawasan ketat, bisa memicu praktik kesewenang-wenangan. Ini tentu akan merusak kepercayaan masyarakat terhadap integritas sistem hukum kita,” kata Arief Oksya.
Partisipasi Mahasiswa: Penolakan Terhadap Kekuasaan yang Terpusat
Mahasiswa juga tidak ketinggalan untuk menyuarakan pendapat mereka. Ketua BEM FH UMS mengungkapkan penolakan keras terhadap pemberian kewenangan berlebihan kepada kejaksaan. Dalam demonstrasi simbolik, para peserta memamerkan spanduk yang berisi protes terhadap potensi terjadinya dominus litis, serta menuntut transparansi dalam proses revisi tersebut. “Kami sebagai generasi muda menuntut keadilan yang berlandaskan pada akuntabilitas. Reformasi hukum harus mengedepankan prinsip keadilan dan transparansi, bukan hanya memperkuat kekuasaan satu lembaga,” ujar salah satu perwakilan mahasiswa.
Pentingnya Pengawasan Publik dalam Reformasi Hukum
Diskusi publik ini menegaskan bahwa proses revisi UU Kejaksaan harus melibatkan partisipasi aktif dari berbagai pihak, termasuk masyarakat luas, agar tidak menimbulkan dampak negatif dalam jangka panjang. Para pemateri sepakat bahwa meskipun revisi ini bertujuan untuk memperbaiki sistem hukum, pengawasan ketat dan transparansi adalah kunci agar reformasi yang dilakukan tidak justru merugikan masyarakat.
Acara ini diakhiri dengan sesi buka bersama, yang diharapkan dapat menjadi momentum awal bagi lebih banyak dialog kritis dan konstruktif terkait dengan reformasi hukum di Indonesia. Para peserta berkomitmen untuk terus mengawasi setiap perkembangan dalam proses legislasi dan memastikan bahwa prinsip keadilan serta demokrasi tetap terjaga.
Dengan semangat perubahan, diskusi ini menunjukkan bahwa masyarakat memiliki peran penting dalam mengawal setiap langkah reformasi hukum yang diambil oleh pemerintah, demi terciptanya sistem hukum yang lebih adil dan transparan di masa depan.
[]