Oleh: Tundra Meliala
Ketua Umum Asosiasi Media Konvergensi Indonesia (AMKI) Pusat
JAKARTA – Awal pekan ini, seorang pria bertubuh tambun melangkah masuk ke ruang sidang Pengadilan Negeri dengan pakaian serba putih. Peci hitam menempel rapi di kepala. Tangannya memegang tasbih kecil yang sesekali ia putar-putar di sela jemari. Ia tersenyum samar, seolah bukan terdakwa kasus korupsi miliaran rupiah. Beberapa pengunjung sidang berbisik, “Wah, baru tobat, ya?”
Fenomena terdakwa yang tampil dengan simbol-simbol kesalehan bukanlah hal baru di Indonesia. Entah sejak kapan tepatnya tren ini mengakar. Yang jelas, sudah lebih dari satu dekade, ruang sidang di tanah air kerap menghadirkan pemandangan seperti majelis taklim dadakan. Terdakwa pria mengenakan baju koko dan peci, perempuan memakai gamis dan hijab lebar. Terkadang ditambah janggut dan celana cingkrang—atribut yang mengesankan perubahan hidup menuju jalan Tuhan.
Kita mungkin masih ingat peristiwa pasca Bom Bali, saat tiga bersaudara pelaku terorisme tampil di pengadilan dengan pakaian yang sama. Ali Imron dan dua kakaknya tak hanya mengguncang dunia lewat ledakan, tetapi juga lewat visual baru tentang “tersangka yang alim”. Sejak itu, seolah ada pola berulang yang terbentuk: tampil saleh di ruang sidang, entah untuk menggugah empati publik, meringankan vonis, atau sekadar pencitraan spiritual.
Namun, hal ini tak melulu soal religiusitas. Di sisi lain ruang sidang, muncul pula tipe terdakwa yang justru tampil menggoda. Beberapa perempuan muda yang tersandung kasus pidana ringan kerap hadir dengan busana mencolok—rok di atas lutut, kemeja terbuka dua kancing, make-up tebal. Sebagian pengacara menyebut ini sebagai “strategi visual”, berharap mendapat simpati—atau bahkan pengaruh—di ruang sidang yang seharusnya steril dari permainan persepsi.
Pertanyaannya, bagaimana seharusnya terdakwa berpakaian di ruang pengadilan? Apakah ada aturan baku soal busana yang mencerminkan kesopanan, netralitas, dan tidak menyisipkan pesan simbolik tertentu?
Dalam praktiknya, Mahkamah Agung memang tidak mengatur secara rinci soal kostum terdakwa, selain imbauan agar “berpakaian sopan dan rapi”. Tetapi sopan versi siapa? Rapi menurut siapa? Tanpa standar yang tegas, ruang sidang bisa menjadi panggung ekspresi bebas yang justru mengaburkan esensi hukum: menimbang fakta, bukan fesyen.
Perlu ada pembicaraan terbuka soal ini. Bukan untuk mengekang hak berpakaian, melainkan menjaga marwah peradilan. Busana terdakwa seharusnya tak menjadi alat komunikasi simbolik yang membentuk opini. Entah itu kesan bertobat atau godaan visual, keduanya sama-sama dapat menyimpang dari prinsip dasar: semua terdakwa adalah manusia yang setara di hadapan hukum.
Majelis hakim, jaksa, dan pengacara tentu punya kapasitas untuk memilah mana fakta, mana sandiwara. Namun publik, media, bahkan korban—bisa jadi terpengaruh oleh visual. Karena itu, regulasi sederhana, misalnya berupa panduan berpakaian netral dan profesional di pengadilan, bisa menjadi langkah kecil menjaga objektivitas.
Toh, kalau benar-benar ingin bertobat, ada tempat lebih sakral dari ruang sidang: ruang batin sendiri. ***