Jakarta, faktapers.id – Pemerintah Amerika Serikat kembali mengarahkan sorotan tajamnya ke Indonesia, khususnya terhadap Pasar Mangga Dua di Jakarta yang dianggap sebagai pusat peredaran barang bajakan dan pemalsuan merek. Dalam laporan terbaru bertajuk Review of Notorious Markets for Counterfeiting and Piracy 2024, pasar ini dinyatakan sebagai salah satu lokasi fisik yang paling parah dalam menyebarkan produk ilegal.
Laporan tersebut merupakan bagian dari National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers (NTE) 2025 yang dirilis oleh United States Trade Representative (USTR) pada akhir Maret lalu. NTE 2025 menelaah hambatan perdagangan dari 59 mitra dagang AS, termasuk Indonesia. Sorotan terhadap Pasar Mangga Dua menjadi bagian dari evaluasi serius Washington terhadap perlindungan kekayaan intelektual di Tanah Air.
“Indonesia tetap berada dalam Daftar Pantauan Prioritas dalam Laporan Khusus 301 tahun 2024,” tulis USTR dalam dokumen resmi yang dirilis menjelang pengumuman kebijakan tarif impor resiprokal oleh Presiden AS, Donald Trump.
USTR menilai bahwa meskipun pemerintah Indonesia telah menunjukkan kemajuan dengan memperkuat gugus tugas penegakan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dan memperluas upaya pemberantasan pembajakan digital, pelanggaran di pasar fisik seperti Pasar Mangga Dua masih menjadi perhatian besar. Beberapa platform e-commerce lokal juga turut disorot dalam laporan tersebut.
“Pembajakan hak cipta dan pemalsuan merek dagang yang meluas, baik secara daring maupun luring, tetap menjadi kekhawatiran utama. Kurangnya penegakan hukum di pasar-pasar seperti Mangga Dua memperparah situasi ini,” lanjut pernyataan USTR.
Amerika Serikat secara eksplisit mendorong pemerintah Indonesia untuk memanfaatkan gugus tugas HKI guna meningkatkan sinergi antara lembaga penegak hukum dan kementerian terkait. Selain itu, USTR juga mengkritisi sistem perlindungan data yang masih dinilai lemah, terutama dalam konteks persetujuan pemasaran produk kimia dan farmasi.
Tidak hanya itu, AS turut menyuarakan kekhawatiran terhadap kebijakan lokal terkait indikasi geografis dan pelaksanaan Undang-Undang Paten. Perubahan yang dibawa oleh Undang-Undang Cipta Kerja tahun 2020 terhadap UU Paten 2016 dianggap belum cukup menjawab tantangan perlindungan hak kekayaan intelektual secara menyeluruh.
“AS meminta amandemen yang lebih menyeluruh terhadap UU Paten, termasuk perlindungan terhadap invensi berbasis program komputer, serta aspek pengetahuan tradisional dan sumber daya genetik,” bunyi laporan tersebut.
Melalui Perjanjian Kerangka Kerja Perdagangan dan Investasi (TIFA), AS menyatakan komitmennya untuk terus menjalin dialog dengan Indonesia. Mereka berharap rencana kerja bilateral terkait kekayaan intelektual dapat diimplementasikan secara efektif demi menciptakan iklim perdagangan yang adil dan bebas dari pembajakan.
[]