Jakarta, faktapers.id – Di tengah upaya reformasi penegakan hukum dan gencarnya komitmen Kapolri untuk merespons cepat kejahatan seksual, Polres Metro Jakarta Barat justru dinilai mencoreng kepercayaan publik. Sebuah kasus dugaan rudapaksa terhadap anak di bawah umur yang telah dilaporkan sejak Desember 2024 hingga kini tak kunjung diproses secara serius. Terduga pelaku masih bebas berkeliaran, sementara korban mengalami trauma mendalam.
Peristiwa memilukan ini terjadi di kawasan Jl. Jeruk Manis III, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Korban, seorang anak perempuan berinisial S, diduga menjadi korban kekerasan seksual oleh FN, tetangganya sendiri. Ayah korban, Nanang, melaporkan kasus ini ke Polres Metro Jakarta Barat pada 8 Desember 2024 dengan bukti visum dan keterangan anaknya yang menguatkan dugaan kekerasan seksual.
Namun, hingga 9 Mei 2025 atau lima bulan sejak laporan diterima dengan nomor: STTLP/1524/B/XII/2024/SPKT/POLRES METRO JAKARTA BARAT/POLDA METRO JAYA, belum ada tindakan penahanan ataupun pemanggilan paksa terhadap terlapor. Hal ini memicu kemarahan dan rasa kecewa yang mendalam dari pihak keluarga.
Korban Trauma Berat, Pelaku Justru Bebas
“Anak saya mengalami trauma berat. Dia berubah menjadi pendiam, sulit berinteraksi, bahkan takut keluar rumah. Tapi yang lebih menyakitkan, kami harus melihat pelaku masih lalu-lalang di sekitar rumah kami, seperti tidak terjadi apa-apa,” ujar Nanang dengan suara bergetar saat ditemui awak media, Jumat (9/5/2025).
Menurut keterangan yang diperoleh redaksi, FN diduga meraba hingga menghisap bagian intim korban, mengelus paha, bahkan memasukkan jarinya ke alat kelamin anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar tersebut. Korban juga mengalami rasa sakit saat buang air kecil—tanda-tanda klinis yang tak bisa diabaikan.
Polisi Diam, Keadilan Mandek
Sayangnya, meskipun telah diberikan bukti visum dan kronologi kejadian secara lengkap, pihak kepolisian dinilai lalai dan pasif. “Kami tidak tahu lagi harus bagaimana. Polisi hanya bilang ‘masih dalam penyelidikan’, tapi tak pernah ada tindak lanjut. Ini bukan hanya lambat, ini pembiaran,” tegas Nanang.
Ia menambahkan bahwa penanganan lambat semacam ini menunjukkan bahwa perlindungan terhadap anak hanyalah slogan kosong. “Kalau bukan karena viral, kasus ini mungkin tidak akan pernah diselesaikan. Ini sudah jadi pola. No viral, no justice.”
Sindiran terhadap Institusi
Nanang menyayangkan sikap Polres Jakbar yang dianggap tak sejalan dengan arahan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, yang berulang kali menekankan pentingnya kecepatan, empati, dan keberpihakan kepada korban dalam kasus kejahatan seksual.
“Kapolri sudah jelas dalam perintahnya. Tapi di tingkat bawah, seperti Polres Jakbar, seolah tidak peduli. Ini bisa disebut sebagai pengkhianatan terhadap komitmen institusi,” katanya.
Desakan Pengambilalihan Kasus
Nanang kini berharap agar Polda Metro Jaya turun tangan langsung mengambil alih kasus ini, dan mendesak Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), LPAI, hingga Komnas Perempuan untuk ikut mengawal proses hukum.
“Anak saya bukan angka statistik. Dia korban yang haknya harus dilindungi. Kalau polisi diam, maka masyarakat harus bersuara,” pungkasnya .