Raja Ampat, faktapers.id – Isu aktivitas tambang nikel di Kabupaten Raja Ampat kembali menjadi perhatian serius menyusul kunjungan kerja reses Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI ke Provinsi Papua Barat Daya (PBD). Kunjungan ini menyoroti potensi kerusakan lingkungan di wilayah yang telah diakui UNESCO sebagai Geopark Global.
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Evita Nursanty, dalam kunjungan tersebut meminta pemerintah pusat untuk segera mengevaluasi izin pertambangan yang dinilai berpotensi merusak keindahan alam Raja Ampat. “Apakah ini akan diteruskan kalau kehadirannya hanya mengancam ekosistem alam di Raja Ampat?” ujar Evita, seperti dikutip Antara pada Senin (2/6/2025).
Nursanty juga berkomitmen untuk membawa isu ini ke pembahasan DPR RI bersama Komisi XII dan kementerian terkait.
Enam Perusahaan Tambang di Kawasan UNESCO Global Geopark
Kepulauan Waigeo, yang merupakan bagian dari Geopark Raja Ampat dan ditetapkan sebagai UNESCO Global Geopark (UGGp) pada 24 Mei 2023, ternyata dalam lima tahun terakhir menjadi lokasi beroperasinya enam perusahaan pertambangan. Beberapa di antaranya sedang melakukan eksplorasi, berupaya memperpanjang izin, bahkan ada perusahaan baru yang diduga sedang mengurus perizinan eksplorasi.
Enam perusahaan tambang tersebut adalah:
* PT Gag Nikel Indonesia, Raja Ampat, Papua Barat Daya, seluas 13.136 ha.
* PT Anugerah Surya Pratama, Raja Ampat, Papua Barat Daya, seluas 9.365 ha.
* PT Kawei Sejahtera Mining, Raja Ampat, Papua Barat Daya, seluas 5.922 ha.
* PT Mulia Raymond Perkasa, Raja Ampat, Papua Barat Daya, 2.194 ha.
* PT Waigeo Mineral Mining, Raja Ampat, Papua Barat Daya, seluas 1.000 ha.
* PT Raja Ampat Nikel Abadi (RANA), Raja Ampat, Papua Barat Daya, seluas 1.000 ha.
Penolakan Keras dari Masyarakat Adat
Penolakan terhadap ekspansi tambang nikel, khususnya yang dilakukan oleh PT Mulia Raymond Perkasa (MRP) di Pulau Manyaifun dan Batang Pele, semakin gencar disuarakan oleh Aliansi Jaga Alam Raja Ampat (ALJARA). Mereka menyoroti konflik antara kepentingan industri tambang dan upaya pelestarian lingkungan di kawasan dengan keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia ini.
“Pohon-pohon ditebang, lubang-lubang tambang terbuka dengan tanah berwarna jingga-coklat merusak pulau-pulau kecil. Sedimen tambang terbawa arus laut dan menumpuk di sepanjang pantai, mengancam kehidupan bawah laut yang menjadi keajaiban Raja Ampat,” ungkap Yoppy L. Mambrasar saat aksi tolak tambang nikel pada Senin (26/5/2025) lalu.
Tuntutan Masyarakat: Cabut Izin, Bukan Sekadar Evaluasi
Dalam aksi damai pada 26 Mei 2025, masyarakat Raja Ampat dengan tegas menyatakan menolak operasional PT MRP di Manyaifun dan Batang Pele. Menyikapi pernyataan pemerintah terkait evaluasi izin, Ketua Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Kabupaten Raja Ampat, Elon Salomon Moifilit, menegaskan bahwa masyarakat adat tidak membutuhkan evaluasi izin pertambangan.
“Masyarakat tolak tambang di Manyaifun dan Batang Pele. Kami minta izinnya dicabut, bukan evaluasi lagi,” ujar Elon. Ia berharap pemerintah kabupaten Raja Ampat, provinsi PBD, serta Dewan Perwakilan Rakyat dari tingkat daerah (DPRK dan DPRP) hingga pusat dapat memperjuangkan aspirasi masyarakat untuk mencabut izin PT MRP.
“Kami tidak minta evaluasi izin atau penguatan dan pengawasan AMDAL. Kami hanya desak cabut izin PT Mulia Raimond Perkasa. Sekali lagi saya tegaskan cabut izin, bukan evaluasi izin,” pungkas Elon, menunjukkan ketegasan sikap masyarakat.
[]