JawaHukum & KriminalPendidikan

Dugaan Pungutan Rp 1,3 Juta di SMPN 1 Piyungan, Jadi Beban Orang Tua Siswa

492
×

Dugaan Pungutan Rp 1,3 Juta di SMPN 1 Piyungan, Jadi Beban Orang Tua Siswa

Sebarkan artikel ini
ilustrasi

Bantul, faktapers.id – Sejumlah orang tua siswa SMP Negeri 1 Piyungan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta, mengaku terbebani adanya dugaan pungutan sekolah sebesar Rp 1,3 juta per siswa yang diminta melunasi menjelang kelulusan. Mereka menyatakan keberatan atas nominal tersebut, terutama karena pungutan itu tidak bersifat sukarela.

Keluhan itu semakin memuncak saat diketahui bahwa para orang tua yang belum melunasi diminta untuk segera membayar melalui pengurus paguyuban orang tua. “Kami khawatir, kalau tidak segera melunasi, anak kami akan dipersulit pengambilan ijazahnya,” ujar salah satu wali murid yang enggan disebutkan namanya.

Kekhawatiran tersebut mencuat karena ada tekanan moral dan sosial yang datang dari lingkungan internal sekolah, khususnya dari paguyuban. Salah satu pengurus paguyuban orang tua (POT) Tyas, saat dikonfirmasi menyatakan bahwa dana tersebut memang berasal dari kontribusi orang tua dan telah disetorkan kepada Ketua Komite Sekolah. Namun, Tyas tidak menjelaskan secara rinci peruntukan dana maupun mekanisme penggunaannya.

Saat ditemui, Ketua Komite SMP Negeri 1 Piyungan, Arwan, membenarkan adanya pungutan tersebut. Ia menyebutkan bahwa dana dipakai untuk keperluan pembelian buku Lembar Kerja Siswa (LKS), membayar guru les tambahan, dan kebutuhan lainnya. “Kalau nanti ada kelebihan dana, akan kami kembalikan ke orang tua,” ujarnya, Rabu (4/6/2025) yang lalu.

Sayangnya, pernyataan tersebut tidak dibarengi dengan laporan penggunaan dana secara terbuka maupun dokumentasi yang bisa diaudit. Hingga berita ini diturunkan, Kepala Sekolah SMPN 1 Piyungan, Sri Lestari belum memberikan keterangan resmi. Saat hendak dikonfirmasi di sekolah, pihak sekolah menyatakan kepala sekolah sedang berada di luar.

Aspek Hukum: Pungutan Sekolah oleh Komite di Luar Ketentuan Bisa Melanggar Aturan

Pungutan di lingkungan sekolah negeri diatur dengan ketat dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah. Berdasarkan pasal 10 ayat (1) Permendikbud tersebut, komite sekolah dilarang melakukan pungutan kepada peserta didik atau orang tua/walinya dalam bentuk apa pun.

Meski diperbolehkan melakukan “penggalangan dana”, namun hal itu harus bersifat sukarela, tidak memaksa, dan transparan. Lebih lanjut, Pasal 12 Permendikbud 75/2016 menyatakan bahwa setiap pungutan atau sumbangan yang tidak sesuai prinsip tersebut dapat dikategorikan sebagai pelanggaran.

Jika terbukti pungutan tersebut disertai tekanan, baik langsung maupun tidak langsung, maka pihak sekolah dan komite dapat dikenai sanksi administratif, bahkan pidana sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Perlindungan Anak.

Praktik mengaitkan pelunasan pungutan dengan penerbitan ijazah juga berpotensi melanggar hak anak atas pendidikan. Ijazah adalah dokumen negara yang wajib diberikan kepada peserta didik yang telah menyelesaikan pendidikan, tanpa syarat pembayaran.

Desakan Transparansi dan Klarifikasi Publik

Kasus ini memicu pertanyaan serius mengenai tata kelola dan transparansi keuangan di SMPN 1 Piyungan. Beberapa tokoh masyarakat dan aktivis pendidikan di Bantul mulai mendesak Dinas Pendidikan Kabupaten Bantul untuk turun tangan melakukan audit dan klarifikasi menyeluruh.

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Wadah Generasi Anak Bangsa (WGAB) juga dilaporkan telah melayangkan surat resmi ke pihak sekolah guna meminta penjelasan tertulis terkait dasar hukum dan rincian penggunaan dana pungutan tersebut.

Hingga kini, publik masih menunggu klarifikasi resmi dari Kepala Sekolah SMPN 1 Piyungan dan Dinas Pendidikan Kabupaten Bantul. Sementara itu, para orang tua berharap tidak ada bentuk intimidasi atau diskriminasi terhadap siswa yang orang tuanya belum mampu memenuhi pungutan tersebut.

(Madi)