Jakarta, faktapers.id – Okan Cornelius bersama pengacara Sri Dharen mendampingi tantenya, Shinta Condro, ke Bareskrim Mabes Polri pada Senin (7/7/2025) untuk melaporkan dugaan kasus mafia tanah yang telah merugikannya hingga Rp30 miliar di Semarang. Laporan ini, dengan nomor LP/B/262/VI/2025/SPKT/BARESKRIM POLRI, melibatkan empat terlapor, termasuk seorang pensiunan ASN dan tiga wiraswasta, yang disangkakan melanggar Pasal 266 KUHP tentang pemalsuan surat.
Kronologi Dugaan Penipuan Tanah Berpuluh Tahun
Sri Dahren SH, MH, MBA, kuasa hukum Shinta Condro, menjelaskan bahwa kasus ini berawal dari kepemilikan sebidang tanah seluas sekitar 1.100 meter persegi di Jalan Rinjani No.1, Kota Semarang, yang telah dimiliki oleh Shinta dan almarhum suaminya, Ir. Edi Setiawan, sejak tahun 1985 dengan sertifikat hak milik.
Namun, pada tahun yang sama, dua pihak berinisial S diduga menjual tanah tersebut menggunakan alas hak palsu kepada seseorang berinisial S lainnya. Akibatnya, sertifikat hak milik baru diterbitkan atas nama S. Tanah tersebut kemudian dijual lagi kepada B.S., dan selanjutnya berpindah tangan ke I.S., yang juga mendapatkan sertifikat hak milik atas namanya.
Almarhum suami Shinta Condro saat itu melaporkan I.S. ke polisi atas tuduhan pemalsuan data terkait transaksi jual beli tanah. Proses hukum tersebut berujung pada penahanan lurah dan pihak berinisial S.
Pengadilan kemudian memutuskan bahwa sertifikat hak milik yang terbit atas nama I.S. cacat hukum. Meskipun salinan putusan telah diserahkan ke kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jawa Tengah, sertifikat tersebut belum juga dibatalkan hingga saat ini. Dharen menegaskan, dengan diterbitkannya Sertifikat Hak Guna Bangun (HGB) menggunakan dasar yang palsu, maka HGB tersebut secara otomatis cacat hukum.
Peran Lurah dan Kejanggalan Surat Keterangan Tanah
Kejanggalan terus berlanjut. Pada tahun 2016, lurah wilayah Bendungan, inisial RH, sempat disomasi dan digugat oleh I.S. agar mengeluarkan surat pernyataan tidak sengketa dan penguasaan fisik tanah. Lurah RH awalnya menolak. Namun, pada 28 April 2020, tanpa adanya gugatan atau paksaan dari pihak I.S., lurah yang sama justru mengeluarkan surat pernyataan penguasaan fisik dan pernyataan tidak sengketa atas tanah tersebut.
Dharen menyatakan keheranannya atas tindakan lurah tersebut. “Saya sempat bertemu dengan lurah tersebut, namun dia mengaku bahwa surat yang dikeluarkan pada tahun 2020 adalah kesalahan,” ujarnya kepada wartawan pada 6 Januari 2025 di Semarang.
Setelah klarifikasi, lurah tersebut mengakui kesalahannya dan menyebut surat itu dikeluarkan secara keliru.
Dharen kemudian melaporkan hal ini ke atasan lurah yang mengarahkan untuk melapor ke Inspektorat Balai Kota. Namun, sudah dua bulan berlalu, belum ada respons dari pihak terkait.
Lebih lanjut, Dharen menyoroti fakta bahwa putusan pengadilan yang sudah membatalkan sertifikat hak milik tersebut seolah diabaikan. “Ini berdasarkan surat rekomendasi lurah pada tahun 2020. Saat ini, sertifikat hak milik atas tanah tersebut terdaftar pada Januari 2020,” tambahnya.
Ironisnya, karena surat pernyataan tersebut tidak dicabut, justru terbit Sertifikat Hak Milik (SHM) baru pada Januari 2024. Dharen menilai kelalaian dan ketidaktegasan aparat terkait menjadi penyebab permasalahan ini terus berlangsung dan merugikan kliennya.
Okan Cornelius yang hadir dalam kesempatan itu, menyatakan keprihatinannya melihat tantenya menjadi korban mafia tanah. “Jadi mudah-mudahan dengan adanya momen seperti ini kita bisa cari keadilan, ya kasian juga ya waktu masih muda fightingnya enak,” ujar Okan. Ia menambahkan bahwa sang tante, di usianya yang menginjak 85 tahun, pasti akan sangat terkuras pemikiran, tenaga, dan kesehatannya akibat masalah ini.
Meskipun memiliki kesibukan sebagai seorang pengusaha, Okan menegaskan bahwa upaya membantu tantenya bukanlah halangan. “Ya kalau dengan membantu semua waktu bisa dicari, selama ada waktu pasti bisa jalan lah, enggak masalah,” tandasnya, menunjukkan komitmennya untuk memperjuangkan keadilan bagi keluarganya.
[Igo]