NasionalPolitik

Kontroversi Pencalonan Gibran: Antara Legalitas Formal dan Cacat Etik

179
×

Kontroversi Pencalonan Gibran: Antara Legalitas Formal dan Cacat Etik

Sebarkan artikel ini

Jakarta, faktapers.id – Pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (cawapres) pada Pemilu 2024 lalu terus menjadi sorotan tajam. Meskipun secara yuridis formal dinyatakan memenuhi syarat, proses pencalonannya diwarnai oleh serangkaian kontroversi yang mengikis legitimasi dan kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi di Indonesia.

Awal mula kontroversi bermula dari persyaratan usia calon presiden dan wakil presiden yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, di mana usia minimum ditetapkan 40 tahun. Gibran Rakabuming Raka, yang saat itu menjabat sebagai Wali Kota Surakarta, berusia di bawah 40 tahun.

Namun, jalan bagi Gibran terbuka lebar setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023. Putusan ini mengubah syarat usia, memungkinkan seseorang yang berusia di bawah 40 tahun untuk mencalonkan diri asalkan pernah atau sedang menjabat posisi yang dipilih melalui pemilihan umum. Dengan statusnya sebagai kepala daerah, Gibran pun memenuhi kriteria baru ini dan secara resmi mendaftar sebagai cawapres mendampingi Prabowo Subianto.

Cacat Etik dan Prosedural yang Menyelimuti

Meski secara hukum formal Putusan MK 90/PUU-XXI/2023 membuka peluang bagi Gibran, putusan ini segera menuai badai kritik. Banyak pihak menilai MK telah melampaui kewenangannya sebagai “negative legislator” dan justru bertindak sebagai “positive legislator” dengan menambahkan norma baru dalam undang-undang.

Dugaan pelanggaran etik semakin menguat ketika terungkap bahwa Ketua MK saat itu, Anwar Usman, adalah ipar dari Presiden Joko Widodo dan paman dari Gibran. Majelis Kehormatan MK (MKMK) kemudian menyatakan Anwar Usman terbukti melakukan pelanggaran etik berat karena konflik kepentingan, yang berujung pada pemberhentiannya dari jabatan Ketua MK. Meskipun demikian, putusan MK 90 tetap dinyatakan mengikat.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga tidak luput dari kritik. KPU menerima pendaftaran Gibran pada 25 Oktober 2023 berdasarkan Putusan MK 90, padahal Peraturan KPU (PKPU) Nomor 19 Tahun 2023 belum disesuaikan. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menyatakan KPU melanggar etik karena tidak segera merevisi PKPU dan berkonsultasi dengan DPR serta Pemerintah. Akibatnya, Ketua KPU mendapat sanksi peringatan keras, sementara anggota KPU lainnya menerima peringatan.

Secara yuridis formal, setelah adanya Putusan MK 90, pencalonan Gibran Rakabuming Raka memang memenuhi syarat. Namun, serangkaian cacat etik dan prosedural yang terjadi dalam proses di MK dan KPU telah secara signifikan mengikis legitimasi pencalonannya. Hal ini menciptakan sebuah paradoks: sah secara hukum, tetapi dipertanyakan secara etis.

Kontroversi ini berdampak luas, tidak hanya pada legitimasi pencalonan Gibran, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap institusi penting seperti Mahkamah Konstitusi dan Komisi Pemilihan Umum. Para pengamat hukum dan demokrasi menilai kasus ini berpotensi menjadi preseden berbahaya yang dapat memperlemah supremasi hukum dan kualitas demokrasi elektoral di Indonesia.

Untuk mencegah krisis serupa di masa depan, reformasi kelembagaan dan penguatan etika di tubuh institusi peradilan dan penyelenggara pemilu dinilai sangat mendesak. Hal ini krusial untuk memastikan bahwa hukum tidak hanya sekadar formalitas, tetapi juga menjunjung tinggi nilai keadilan dan legitimasi di mata publik.

()