Jakarta, faktapers.id – Koalisi Masyarakat Sipil menyelenggarakan konferensi pers bertajuk “Kasus Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto Adalah Politically Motivated Prosecution” di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Kampus UI Salemba, Jakarta Pusat, pada Senin (21/7/2025).
Acara ini dihadiri oleh sekitar 35 peserta dan menampilkan tiga narasumber utama, yaitu Usman Hamid (Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia), Feri Amsari (Pakar Hukum Tata Negara, Universitas Andalas), dan Sulistyowati Irianto (Guru Besar Antropologi Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia).
Kekhawatiran Terhadap Regresi Demokrasi dan Independensi Peradilan
Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, menyampaikan keprihatinan mendalam atas kasus yang menimpa Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto. Ia menilai bahwa kasus ini menunjukkan gejala penuntutan bermotif politik (politically motivated prosecutions), praktik yang lazim terjadi di negara-negara otoriter. “Penuntutan semacam ini mencederai prinsip-prinsip dasar peradilan yang adil, termasuk asas presumption of innocence, hak pembelaan, serta proses hukum yang semestinya berdasarkan norma hukum dan bukan pandangan politik atau asosiasi tertentu,” tegas Usman.
Ia menambahkan, praktik ini bertentangan dengan norma HAM internasional dan konstitusi, serta mencerminkan pelemahan prinsip demokrasi dan independensi peradilan.
Usman juga menyitir studi Thomas Power yang menunjukkan pergeseran pola penegakan hukum dari independen menjadi selektif dan politis, terutama setelah pelemahan KPK di masa pemerintahan Jokowi. Kritisisme Tom Lembong terhadap proyek IKN, hilirisasi nikel, dan penyaluran bansos, serta sikap politik Hasto yang berseberangan dengan penguasa, disebut sebagai konteks di balik tindakan hukum terhadap keduanya.
“Indonesia tengah mengalami regresi demokrasi, ditandai dengan konsentrasi kekuasaan penegakan hukum, dan masuk kategori electoral autocracy menurut laporan V-Dem Institute,” lanjut
Menurut Usman Indonesia tengah menghadapi ancaman serius, di mana hukum telah dijadikan alat kekuasaan, bukan keadilan.
Feri Amsari, Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas, menyoroti bahwa Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menjamin perlindungan dan perlakuan hukum yang adil. Ia mengkritik proses hukum terhadap Tom Lembong yang, menurutnya, tidak menunjukkan bukti adanya niat jahat (mens rea), kerugian negara, maupun keuntungan pribadi, namun tetap diproses secara pidana.
“Proses ini adalah peradilan politik yang digunakan untuk menjatuhkan lawan-lawan kekuasaan,” kata Feri, memperingatkan bahwa siapa pun yang bersuara kritis berpotensi menjadi korban berikutnya. Ia juga menyoroti alasan pemidanaan yang absurd, seperti penggunaan sistem ekonomi kapitalis sebagai dasar pidana.
Feri menekankan bahwa prinsip dasar hukum pidana mensyaratkan adanya niat dan perbuatan jahat, dan jika tidak terpenuhi, pemidanaan menjadi tidak sah. Terkait kasus Hasto Kristiyanto, Feri menilai adanya selektivitas dan diskriminasi, mengabaikan praktik serupa oleh partai lain yang tidak diproses hukum. “Proses hukum terhadap Tom dan Hasto tidak lahir dari semangat penegakan hukum, melainkan sebagai alat politik yang menyerang pihak yang sedang dalam posisi lemah,” pungkasnya.
Sulistyowati Irianto, Guru Besar Antropologi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, menyampaikan analogi filosofis tentang dua kerajaan: keadilan (dijaga hakim) dan kebenaran (dijaga ilmuwan), yang masing-masing menuntut independensi dan kebebasan akademik. Mengutip Aharon Barak, ia menekankan bahwa hakim masa kini tidak lagi bisa menjadi sekadar corong undang-undang, karena hukum harus responsif terhadap dinamika masyarakat dan perubahan teknologi.
Sulistyowati menegaskan pentingnya independensi peradilan dalam menjaga negara hukum. “Bila putusan hakim bisa dipolitisasi, maka itu adalah tanda-tanda runtuhnya negara hukum,” ujarnya. Ia juga mengkritik pemahaman hakim di Indonesia yang cenderung sempit dan hanya menjadikan undang-undang tertulis sebagai satu-satunya sumber hukum, berbeda dari praktik di Belanda yang mengakui putusan hakim sebagai sumber hukum penting.
Ia mendorong agar hakim tidak hanya membaca teks hukum, tetapi juga memahami konteks sosial dan politik dari kasus-kasus yang ditanganinya. Sulistyowati menyatakan keprihatinan bahwa fakta-fakta persidangan dan keterangan ahli diabaikan dalam kasus Tom Lembong dan Hasto, dengan tuntutan yang dianggap tidak masuk akal.
“Keduanya adalah korban dari praktik hukum yang tidak seharusnya terjadi pasca-reformasi. Situasi ini menandai kembalinya Indonesia ke titik nol dari perjuangan demokrasi yang dibangun sejak 27 tahun lalu,” tutup Sulistyowati.
Koalisi menegaskan bahwa kasus hukum terhadap Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto bukanlah semata perkara hukum, melainkan manifestasi dari penggunaan hukum sebagai alat politik, yang merupakan ancaman serius terhadap demokrasi, keadilan, dan independensi peradilan di Indonesia.
[]