Jakarta, faktapers.id — Proses hukum musisi senior Fariz Roestam Munaf (Fariz RM) kembali mengalami penundaan. Agenda pembacaan tuntutan dalam kasus dugaan penyalahgunaan narkotika yang menjeratnya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan urung digelar karena Jaksa Penuntut Umum (JPU) belum siap memaparkan tuntutannya. Namun, di balik peristiwa itu, muncul sorotan tajam terhadap sistem hukum yang dinilai belum siap meninggalkan paradigma lama dalam menangani perkara narkotika.
Penundaan ini menjadi yang kedua kalinya, setelah sebelumnya sidang pada 21 Juli 2025 juga ditunda dengan alasan serupa. Ketua Majelis Hakim Lusiana Amping memberi perpanjangan waktu kepada JPU hingga 4 Agustus mendatang untuk menyusun tuntutan secara matang.
Namun bagi kuasa hukum Fariz RM, Deolipa Yumara, kasus ini bukan sekadar persoalan administratif. Ia menegaskan bahwa penundaan ini mencerminkan kegamangan sistem hukum dalam menghadapi perubahan paradigma penanganan narkotika, di mana pengguna seharusnya tidak lagi diperlakukan sebagai pelaku kejahatan, melainkan sebagai korban.
“Ada kegamangan di tubuh penegak hukum. Di satu sisi, kebijakan pusat mulai mendorong rehabilitasi, namun di sisi lain, mekanisme lapangan masih terjebak di pola penghukuman,” ujar Deolipa.
Ia mengungkapkan bahwa Kejaksaan Agung telah memberi sinyal perubahan kebijakan, namun implementasinya sering terbentur di level bawah. “Pengguna seperti Fariz ini mestinya langsung diarahkan ke jalur rehabilitasi. Tapi kenyataannya, masih sering ditarik ke proses pidana panjang yang tidak menyelesaikan akar masalah,” imbuhnya.
Deolipa juga mengkritik praktik di mana program rehabilitasi kerap berhenti setelah satu tahap. Padahal, menurutnya, rehabilitasi membutuhkan proses yang panjang dan berkali-kali agar berhasil. “Kalau cuma direhab sekali terus selesai, itu sama saja formalitas. Sementara di lapangan, sindikat narkotika terus bermain di belakang layar,” ujarnya.
Fariz RM, yang dikenal dengan lagu-lagu hits seperti Sakura dan Barcelona, memilih untuk tetap tenang dan mengikuti jalannya proses hukum. Ia menyatakan harapannya agar kasusnya bisa menjadi momentum introspeksi bersama terhadap kebijakan narkotika di Indonesia.
“Proses hukum ini semoga menjadi pembelajaran kolektif. Jangan sampai kita hanya menghukum pengguna, tapi membiarkan akar masalahnya tetap tumbuh,” kata Fariz kepada awak media usai sidang.
Kasus ini didaftarkan dengan nomor perkara 339/Pid.Sus/2025/PN JKT.SEL, dengan dakwaan pasal-pasal berat yang menjerat Fariz dengan ancaman hukuman hingga penjara seumur hidup. Namun kini, banyak pihak yang berharap sidang Fariz RM dapat menjadi pintu masuk bagi reformasi penanganan kasus narkotika yang lebih berorientasi pada pemulihan korban, bukan semata-mata hukuman badan.
[Heri]