OlahragaNasional

Padel di Indonesia: Antara Tren Baru dan Potensi Risiko “Gelembung Padel” Seperti di Swedia 

107
×

Padel di Indonesia: Antara Tren Baru dan Potensi Risiko “Gelembung Padel” Seperti di Swedia 

Sebarkan artikel ini

Jakarta, faktapers.id – Setelah periode pertumbuhan yang fenomenal, industri padel di Swedia kini menghadapi kenyataan pahit. Lonjakan investasi yang didorong oleh antusiasme publik pasca-pandemi telah menciptakan kelebihan pasokan, yang berujung pada krisis dan kebangkrutan beberapa perusahaan besar.

​Bagaimana Krisis Ini Terjadi?

  • ​Pembangunan yang Berlebihan: Selama puncak popularitasnya, pembangunan lapangan padel terjadi di mana-mana, terkadang berdekatan. Pada tahun 2020 saja, lebih dari 450 lapangan padel baru dibangun. Akibatnya, jumlah lapangan melebihi permintaan pemain, yang membuat banyak lapangan sepi dan tidak menghasilkan keuntungan.
  • ​Investasi Spekulatif: Banyak investor, termasuk perusahaan modal ventura, mengucurkan dana besar-besaran dengan harapan keuntungan cepat. Ketika pertumbuhan melambat, investasi ini tidak lagi berkelanjutan. Beberapa laporan menyebutkan kerugian mencapai 500 juta Euro akibat investasi yang gagal.
  • ​Perusahaan Raksasa Padel Berguguran: Beberapa perusahaan padel terbesar di Swedia, seperti We Are Padel (WAP) dan PDL United, yang sebelumnya melakukan merger untuk mendominasi pasar, terpaksa mengajukan rekonstruksi atau bahkan bangkrut. Hal ini menunjukkan betapa parahnya situasi finansial di industri ini.

​Dampak Krisis Padel

  • ​Lapangan Padel yang Ditinggalkan: Banyak fasilitas padel, terutama yang besar dan mahal, kini kosong atau telah ditutup. Hal ini menjadi simbol nyata dari kegagalan model bisnis yang terlalu agresif.
  • ​Kerugian Finansial Besar: Investor dan pemilik klub yang terburu-buru berinvestasi kini menghadapi kerugian finansial yang signifikan. Krisis ini menjadi pelajaran tentang bahaya terlalu cepat “membeli” tren olahraga tanpa analisis pasar yang mendalam.
  • ​Masa Depan Padel di Swedia: Meskipun ada penurunan drastis dalam bisnisnya, popularitas padel di tingkat pemain amatir tampaknya masih bertahan. Para ahli berpendapat bahwa krisis ini mungkin merupakan “pembersihan” yang diperlukan untuk menyehatkan industri. Masa depan padel di Swedia akan ditentukan oleh bagaimana klub-klub yang tersisa dapat beradaptasi dan membangun model bisnis yang lebih berkelanjutan.

​Kisah padel di Swedia adalah contoh nyata bagaimana “gelembung” dapat terbentuk di sektor bisnis yang sedang tren, dan bagaimana pertumbuhan yang terlalu cepat tanpa fondasi yang kuat dapat berujung pada kebangkrutan.

Krisis yang terjadi pada bisnis padel di Swedia memang menjadi pelajaran berharga bagi negara-negara lain, termasuk Indonesia, yang sedang mengalami lonjakan popularitas olahraga ini. Namun, berdasarkan informasi yang tersedia, bisnis padel di Indonesia belum menunjukkan tanda-tanda kebangkrutan massal seperti yang terjadi di Swedia. Sebaliknya, trennya masih cenderung positif, meski ada beberapa tantangan yang mulai terlihat.

 Olahraga padel, yang menggabungkan elemen tenis dan squash, terus menarik minat masyarakat Indonesia, terutama di kota-kota besar. Namun, di tengah euforia ini, muncul pertanyaan apakah industri padel di Tanah Air akan mengalami nasib serupa dengan Swedia yang kini menghadapi krisis kelebihan pasokan dan kebangkrutan.

​Risiko dan Tantangan yang Mulai Terlihat

  • ​Pajak dan Regulasi: Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah menetapkan padel sebagai salah satu olahraga yang dikenakan Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) sebesar 10%. Meskipun sebagian pengusaha menyambut baik kebijakan ini, pajak dapat menjadi beban tambahan yang perlu dipertimbangkan dalam model bisnis, terutama jika diterapkan di seluruh Indonesia.
  • ​Potensi Kelebihan Pasokan: Jika tren pembangunan lapangan terus berlanjut tanpa terkendali, ada risiko Indonesia akan mengalami situasi serupa dengan Swedia, di mana jumlah lapangan melebihi permintaan. Hal ini bisa memicu perang harga dan mengancam keberlangsungan bisnis bagi para pengusaha.
  • ​Kurangnya Spesialisasi Pembangunan: Beberapa laporan menunjukkan adanya risiko dalam pembangunan lapangan padel, seperti kesalahan teknis pada konstruksi, pemilihan material yang tidak tepat, dan sistem drainase yang buruk. Jika tidak ditangani oleh kontraktor spesialis, masalah ini dapat menyebabkan biaya perbaikan yang membengkak dan merusak citra bisnis.
  • ​Biaya Mahal: Padel masih dianggap sebagai olahraga eksklusif dengan biaya sewa lapangan dan perlengkapan yang relatif mahal dibandingkan dengan olahraga lain seperti bulu tangkis atau futsal. Hal ini membatasi aksesibilitas bagi masyarakat luas dan membuat pasar padel bergantung pada segmen pasar tertentu.

​Meski begitu saat ini, industri padel di Indonesia masih dalam fase pertumbuhan. Belum ada tanda-tanda kebangkrutan massal atau krisis besar. Namun, pengalaman dari Swedia menjadi peringatan penting. Para pengusaha dan investor perlu lebih bijak dalam perencanaan bisnis, menghindari pembangunan yang spekulatif, dan berfokus pada kualitas serta keberlanjutan. Dengan strategi yang matang, padel di Indonesia diharapkan bisa terus berkembang tanpa mengalami “gelembung” yang pecah di masa depan.

(editor:igo)