Jakarta, faktapers.id – Sekitar 89 orang dari berbagai elemen masyarakat, dipimpin oleh Ketua BEM UI, Zayyid Sulthan Rahman, menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR/MPR RI pada Senin, 6 Oktober 2025. Aksi yang berlangsung dari pukul 14.45 hingga 18.15 WIB ini bertujuan utama untuk menuntut pemerintah dan kepolisian agar segera membebaskan ratusan aktivis dan massa aksi yang ditangkap pasca-gelombang demonstrasi pada Agustus dan September lalu.
Dalam aksi yang bertajuk “Rapat Dengar Pendapat Warga (RDPW)” ini, massa aksi yang tergabung dari mahasiswa UI, Universitas Trilogi, UNJ, UNAS, KASBI, dan SPORA, menyuarakan keprihatinan mendalam atas penangkapan dan kriminalisasi yang terus berlanjut. Melalui orasi dan pernyataan sikap, mereka menegaskan bahwa penahanan terhadap aktivis seperti Delpedro Marhaen, Syahdan Husein, dan Fakhrurrozi merupakan bentuk pembungkaman demokrasi.
Tiga Tuntutan Utama Aksi Massa
Ketua BEM UI, Zayyid Sulthan Rahman, dalam konferensi persnya menyampaikan tiga tuntutan utama yang dibawa oleh massa aksi:
- Mengutuk Tindakan Represif Aparat: Mengecam keras segala bentuk tindakan represif dan intimidatif dari aparat kepolisian yang tidak sesuai dengan prosedur dan nilai kemanusiaan. Massa aksi menuntut penghentian total upaya kriminalisasi terhadap setiap warga negara yang menyampaikan aspirasi.
- Pembebasan Tahanan Politik: Mendesak kepolisian untuk segera membebaskan seluruh tahanan politik yang ditangkap hanya karena menyuarakan pendapat dan melakukan aktivitas demokrasi. Zayyid menyebutkan bahwa penangkapan ini menunjukkan pemerintahan Prabowo-Gibran begitu takutnya pada demokrasi dan kebebasan berpendapat.
- Meminta Legislatif dan Eksekutif Mendengar Rakyat: Menuntut pemerintah, legislatif, dan yudikatif untuk mendengarkan aspirasi rakyat. Massa aksi akan terus menyampaikan tuntutan mereka hingga tanggal 20 Oktober mendatang, menjelang satu tahun pemerintahan Prabowo-Gibran. Mereka juga mengajak masyarakat untuk tidak takut berpendapat dan menyuarakan aspirasi.
Selain tuntutan utama, aksi ini juga menyuarakan isu-isu lain melalui berbagai poster, termasuk penolakan kenaikan pajak, pencabutan UU Cipta Kerja, dan solidaritas untuk Palestina. Beberapa poster juga secara simbolis mengkritik pembatasan kebebasan sipil dan menyoroti penyitaan buku sebagai tanda ketakutan negara terhadap ilmu pengetahuan.
Aksi Simbolis dan Orasi Kritis
Sebagai bentuk protes, massa aksi melakukan aksi simbolis dengan membaca buku di depan gedung DPR/MPR RI. Aksi ini, menurut Zayyid, merupakan cara untuk menunjukkan bahwa melawan dapat dilakukan dengan beragam cara, tidak hanya orasi dan aksi massa.
Beberapa orator dari berbagai latar belakang turut menyampaikan kritik tajam. Sunarno dari KASBI menyoroti kenaikan gaji pejabat yang kontras dengan upah buruh yang sulit naik, sementara Ian dari Pembebasan mempertanyakan anggaran TNI-Polri yang terus meningkat di tengah isu-isu kriminalisasi. Monolog dan teatrikal yang dilakukan oleh Azka dari UI juga menggambarkan situasi pembungkaman yang dirasakan oleh aktivis dan masyarakat sipil.
Aksi yang berlangsung damai ini ditutup dengan menyalakan lilin, sebagai simbol harapan dan solidaritas, sebelum massa aksi membubarkan diri. Aksi ini menunjukkan bahwa gerakan tidak pernah mati meskipun banyak aktivis yang ditangkap, dan perjuangan untuk kebebasan dan keadilan akan terus berlanjut.
[]