Info PolisiHukum & KriminalNasional

Jaringan Tambang Ilegal dan Wajah Buram Kepolisian

14
×

Jaringan Tambang Ilegal dan Wajah Buram Kepolisian

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi

Jakarta, faktapers.id – Penambangan ilegal di Indonesia bukan lagi sekadar kejahatan ekonomi. Ia telah menjelma menjadi sindikat besar yang melibatkan aktor-aktor berpengaruh, termasuk oknum aparat penegak hukum. Ironisnya, lembaga yang seharusnya berdiri di garda depan memberantas kejahatan, justru kerap disebut sebagai bagian dari jaringan itu.

Polisi Sebagai Beking: Masalah Sistemik

Keterlibatan oknum polisi dalam tambang ilegal tidak bisa lagi dianggap kasus perorangan. Polanya terstruktur: ada yang bertugas sebagai beking, penghubung, informan, bahkan pemodal tambang. Pernyataan mantan Kabareskrim bahwa peran aparat dalam tambang ilegal sudah “tersusun rapi” memperkuat dugaan bahwa praktik ini bukan kebetulan, melainkan masalah sistemik.

Empat pola keterlibatan yang kerap muncul antara lain:

  • penerimaan setoran rutin dari pengusaha tambang ilegal,
  • melindungi pelaku dengan menghalangi penegakan hukum,
  • memberi informasi razia,
  • hingga menjadi bos tambang secara langsung

Pertanyaannya: jika penegak hukum justru menjadi bagian dari kejahatan, kepada siapa masyarakat bisa berharap?

Kasus Demi Kasus yang Mengguncang

Sejumlah peristiwa memperlihatkan betapa dalamnya keterlibatan aparat:

Kasus Timah Rp 300 Triliun di Bangka Belitung – terungkap adanya oknum polisi dalam grup WhatsApp pemilik smelter ilegal. Fakta ini menunjukkan betapa “rapat” jaringan bisnis kotor dengan aparat.

Tragedi Solok Selatan – peristiwa polisi tembak polisi yang diduga dipicu konflik tambang galian C ilegal. Seorang Kasat Reskrim tewas karena menolak tunduk pada praktik beking rekan sesama aparat. Ini bukti bahwa tambang ilegal bisa melahirkan kekerasan internal dalam tubuh kepolisian.

Kasus Briptu Hasbudi di Kaltara – seorang polisi berpangkat rendah justru menjadi bos tambang emas ilegal. Kompolnas menyoroti aliran dana mencurigakan hingga ke lingkaran elit.

Pengakuan Ismail Bolong di Kaltim – meski kemudian ia klarifikasi, pengakuannya sempat membuka tabir aliran dana miliaran rupiah ke petinggi Polri. Kasus ini sempat menyeret nama Ferdy Sambo, memperlihatkan bahwa dugaan keterlibatan tak hanya di level bawah.

Kasus Harvey Moeis dan Tambang Timah – kesaksian di pengadilan menyebut sulitnya memberantas tambang ilegal karena adanya “beking-bekingan”. Nama aparat kembali disebut, bahkan ada dugaan oknum polisi menjadi penghubung langsung dalam jaringan.

Luka Lingkungan, Luka Negara

Tambang ilegal bukan sekadar soal uang. Ia meninggalkan kerusakan lingkungan permanen: hutan gundul, sungai tercemar, dan konflik sosial di akar rumput. Negara rugi ratusan triliun, sementara masyarakat di sekitar tambang mewarisi lubang menganga dan tanah yang tak lagi subur.

Namun yang lebih berbahaya adalah kerusakan kepercayaan publik. Bagaimana masyarakat bisa percaya pada aparat, jika sebagian di antaranya justru berdiri di belakang para penjarah kekayaan alam?

Membongkar Jaringan, Bukan Sekadar Kambing Hitam

Selama ini, kasus tambang ilegal kerap berhenti pada aktor-aktor kecil: penambang, sopir truk, atau aparat berpangkat rendah. Padahal, bukti-bukti menunjukkan adanya struktur hierarkis yang melibatkan pihak berpengaruh.

Jika Polri serius ingin memulihkan citra, yang harus dilakukan adalah:

1. Mengusut tuntas aliran dana ke level atas, bukan hanya “korban” di lapangan.

2. Membuka hasil investigasi secara transparan kepada publik.

3. Memastikan penindakan tidak tebang pilih, meskipun menyentuh pejabat tinggi.

Tanpa langkah berani itu, publik akan terus memandang kasus tambang ilegal sebagai potret negara yang kalah oleh mafia dan polisi sebagai bagian dari permainan.

Harapan masyarakat tim reformasi bentukan Presiden Prabowo segera merespon prihal dugaan keterlibatan aparat kepolisian dalam tambang ilegal.

[Red]