BantenHukum & KriminalPendidikan

Kepala Sekolah Jadi Sasaran: Wacana Pemecatan Kepala SMAN 1 Cimarga Memicu Gelombang Kritik dan Seruan Proses yang Adil

38
×

Kepala Sekolah Jadi Sasaran: Wacana Pemecatan Kepala SMAN 1 Cimarga Memicu Gelombang Kritik dan Seruan Proses yang Adil

Sebarkan artikel ini
Wakil Gubernur Banten Achmad Dimyati Natakusumah yang meminta Kepala SMAN 1 Cimarga dinonaktifkan dan diganti pelaksana tugas (PLT) setelah kasus siswa kedapatan merokok, memantik protes luas di kalangan pendidik, orang tua, dan warganet.

Cimarga, faktapers.id  — Keputusan tegas Wakil Gubernur Banten Achmad Dimyati Natakusumah yang meminta Kepala SMAN 1 Cimarga dinonaktifkan dan diganti pelaksana tugas (PLT) setelah kasus siswa kedapatan merokok, memantik protes luas di kalangan pendidik, orang tua, dan warganet. Polemik yang bermula dari potongan wawancara yang viral di TikTok, Selasa (14/10/2025), kini berubah menjadi perdebatan tentang akuntabilitas kepala sekolah versus perlunya pemeriksaan kronologi kejadian secara menyeluruh.

Dalam cuplikan video yang menyebar cepat, Dimyati menyatakan bahwa kepala sekolah tetap bertanggung jawab meskipun pelakunya adalah siswa. “Jika kepala sekolah tidak bisa membuat suasana nyaman, tentram, damai, berarti kepala sekolahnya ga bener,” ucap Wagub dalam pernyataan yang kemudian menjadi bahan kecaman dan dukungan di media sosial.

Namun alih-alih menenangkan situasi, pernyataan tersebut justru memancing reaksi keras. Sejumlah komentar di platform media sosial mempertanyakan logika memecat pemimpin sekolah ketika masalah yang terjadi melibatkan perilaku siswa yang, menurut pendapat publik, seharusnya menjadi tanggung jawab bersama: orang tua, guru, dan aparat penegak aturan.

“Waduuh kenapa begitu Pak. Ya tambah berani lah siswa-siswanya sama guru. Mau jadi apa dunia pendidikan nanti,” tulis salah satu akun di kolom komentar pada postingan viral tersebut. Komentar semacam itu banyak bermunculan, menyoroti potensi pelemahan otoritas guru jika kepala sekolah dibebani tanggung jawab tunggal atas setiap pelanggaran yang dilakukan siswa.

Dari sisi pendidik, aspirasi untuk proses yang adil mengemuka. Ketua salah satu organisasi guru di Banten, yang meminta namanya tidak dipublikasikan, menyatakan kekhawatiran bahwa penonaktifan sewenang-wenang bisa merusak moral tenaga pendidik. “Kepala sekolah bukan polisi; mereka mengelola lingkungan belajar. Bila ada indikasi kegagalan manajerial, harus ada pemeriksaan internal dan klarifikasi kronologis,” ujarnya.

Sementara itu, perwakilan Dinas Pendidikan Kabupaten setempat menyampaikan bahwa mereka telah menerima perhatian publik terhadap insiden tersebut dan akan menunggu laporan resmi dari SMAN 1 Cimarga sebelum mengambil langkah administratif. “Prosedur harus dilalui: klarifikasi, pemeriksaan lapangan, dan jika ditemukan pelanggaran administratif baru kemudian ditentukan sanksi sesuai peraturan,” kata sumber dari dinas yang enggan disebutkan namanya.

Orang tua siswa memberikan respons beragam. Sebagian menyoroti perlunya pembinaan perilaku siswa dan peran keluarga dalam pengawasan, bukan langsung menghukum pimpinan sekolah. “Bisa jadi ada faktor di luar sekolah — pengaruh lingkungan, kebijakan pengawasan jam istirahat, atau fasilitas sekolah. Semua harus dilihat,” kata seorang orang tua murid.

Pengamat pendidikan menilai perdebatan ini mencerminkan masalah struktural yang lebih besar: penegakan disiplin yang tidak konsisten dan kurangnya peran sinergis antara sekolah, keluarga, dan komunitas. Dr. Siti Rahma, pengamat dari sebuah lembaga studi pendidikan regional, menekankan pentingnya pendekatan berbasis bukti. “Respons kebijakan yang reaktif—termasuk seruan pemberhentian—bisa kontraproduktif bila tidak didasari hasil investigasi yang komprehensif,” ujarnya.

Di ranah politik lokal, pihak oposisi dan sebagian warga menilai sikap Wagub sebagai bentuk respons cepat terhadap isu moral publik, namun menegaskan bahwa pejabat publik harus berhati-hati dalam mengeluarkan keputusan yang mempengaruhi karier individu tanpa proses yang transparan. Beberapa netizen pun menyerukan agar Pemprov Banten mempublikasikan kronologi kejadian dan bukti sebelum melanjutkan langkah administratif.

Kasus ini juga membuka kembali diskusi tentang aturan internal sekolah: apakah ada peraturan larangan merokok yang jelas, bagaimana sanksi diterapkan terhadap siswa, serta sejauh mana kepala sekolah diberi kewenangan atau sumber daya untuk menertibkan pelajar. Praktik penegakan disiplin yang berbeda-beda antar sekolah dinilai memperbesar kemungkinan inkonsistensi dalam penanganan pelanggaran.

Untuk meredam gejolak, sejumlah pihak meminta agar Pemprov Banten menunda keputusan administratif sampai hasil pemeriksaan lengkap tersedia. Mereka juga mendesak adanya sosialisasi dan program pembinaan — bukan hanya sanksi — untuk mengatasi perilaku merokok di kalangan remaja, termasuk program pendidikan kesehatan, keterlibatan orang tua, dan penguatan aturan di lingkungan sekolah.

Sampai berita ini diturunkan, SMAN 1 Cimarga belum mengeluarkan pernyataan resmi yang menjelaskan kronologi kejadian dan langkah-langkah internal yang telah ditempuh. Warga berharap, alih-alih keputusan sepihak, akan muncul proses yang adil, transparan, dan solutif—yang mengedepankan pembinaan dan perlindungan bagi murid serta keadilan bagi tenaga pendidik.

(Uaa)